0 Diary Su ( Episode Ketiga )

Selamat pagi kawan. Bagaimana tidur kalian malam tadi? Nyenyakkah? Syukurlah bagi kalian yang tidak bermimpi buruk sepertiku. Mimpi itu adalah kunci, kunci kesuksesan, tapi tidak semua mimpi akan berujung sama. Mimpi yang berujung kepada kesuksesan adalah mimpi yang dimulai dari kemauan, kesiapan, dan ditambah bumbu keringat dan pikiran. Bagi kalian yang bermimpi baik, maka bersiaplah untuk memulai hari ini dengan tujuan, mengamini mimpi kalian. Nah, bagi kalian yang bermimpi buruk, jangan takut. Mimpi buruk itu hanyalah album yang harus kita simpan. Mengapa kita simpan? Karena kalau selamanya kita menyimpan mimpi yang baik, maka selama itulah kita tidak akan pernah mempunyai kesiapan untuk menghadapi yang buruk. Karena tahukah kalian? Di setiap jalan yang lurus pun, pasti kita akan menemukan jalan yang berkelok. Itu yang nyata, apalagi untuk mencapai sebuah kesuksesan. Pasti akan lebih banyak rintangannya. Untuk menghalau semua rintangan, tentunya dengan album yang kita simpan. Apalagi kalau bukan mimpi buruk. Okey teman, itu pencerahanku hari ini yang ada di buku diary. Pencerahan ini aku dapat dari seorang motivator yang ulung. Motivator itu adalah Mario Teguh. Seorang motivator kebangganku.

Tapi, bukan pencerahan itu yang akan aku jelaskan di sini. Pencerahan dari beliau akan aku campur dengan ceritaku yang masih sangat panjang. Baiklah, kali ini aku akan menceritakan tentang mimpi buruk yang tadi malam singgah di tidurku. Tahukah kalian, tadi malam aku bermimpi menjadi seorang pejabat negara. Pekerjaan yang paling aku jauhi adalah menjadi seorang pejabat, apalagi menjadi presiden. Bukan karena aku takut dicurigai akan korupsi, tetapi tanggungjawab yang diemban adalah tanggungjawab kerakyatan, bukan tanggungjawab individual. Memang benar, setiap individual dari kita adalah pejabat, dan setiap pejabat memiliki tanggungjawab kepada apa yang dijabatnya. Andai saja semua manusia menyadari ini, khususnya para koruptor. Mungkin, masalah Cicak vs Buaya yang dahulu pernah aku dengar, tidak akan ada. Negara kita bersih dari korupsi. Oh iya, maaf aku terlalu banyak bicara masalah ke-negara-an. Baiklah, aku akan mulai menulis mimpiku malam tadi, di sini. Di lembaran diary yang baru.

Pagi itu lapangan dipenuhi masyarakat yang berbondong-bondong menggunakan baju yang sama dipakai olehku. Kami sama-sama memperjuangkan Partai Ingin Maju. Suasana yang sesak, hawa yang panas, seakan tidak menyurutkan niat kami untuk memajukan partai ke meja PEMILU.

“Calon Presiden datang! Calon Presiden datang! Semuanya, buatlah jalan lurus sampai ke atas panggung!” Teriak Bang Evran menggunakan pengeras suara.

Segerombolan orang pun datang dan mulai menenangkan suasana yang saat itu benar-benar menunggu kedatangan pemimpin partai. Jalan yang lurus sampai ke panggung pun selesai dibuat, kali ini setiap orang yang berkumpul mulai mengeluarkan kamera yang sudah disiapkan sebelum datang ke lapangan ini. Pemimpin partai pun keluar dari mobil, dan berjalan ke arah panggung. Suasana semakin tidak kondusif. Maklum, 75 persen dari anggota partai ini adalah wanita. Dan pemimpin partai ini adalah bintang film terkenal di negara ini. Jadi, wajar saja kalau banyak wanita yang menganut partai ini.

Saat pemimpin partai menaiki podium, saat itulah keadaan mulai tenang. Di sudut sebelah kiri para hot dancer mulai membenarkan letak rok mini yang sedaritadi masih kurang naik. Padahal, ukuran rok itu sudah sangat minim sekali. Lalu, di sudut sebelah kanan para ibu rumah tangga mulai menggosip. Membicarakan ketampanan sang pemimpin partai. Berbeda dengan para pria yang setiap perkumpulan hanya diminta untuk menenangkan suasana. Di partai ini aku mendapat kedudukan sebagai pengawas harian. Jadi, wajar saja kalau setiap langkah pemimpin partai selalu diawasi. Agar tidak ada omongan yang jelek, sebelum beliau menjadi Presiden. Tentunya.

Pidato kebohongan pun dimulai. Saat-saat inilah yang paling menjijikan bagi kami selaku anggota partai. Bagaimana tidak, di dalam pidatonya selalu saja menjanjikan hal-hal bodoh, kurang berkesan, dan bahkan mustahil untuk dijalankan sekelas beliau. Hal bodoh jika aku memanggilnya dengan sebutan ‘beliau’, tapi itu kewajiban. Untung kejadian itu hanya ada di dalam mimpi.

“Kebahagiaan rakyat adalah kebahagiaan yang kita dambakan selaku anggota Partai Ingin Maju. Kita berantas habis korupsi yang sudah membabibuta negara tercinta ini.” Begitulah kesimpulan pidato panjangnya.

Bagaimana hal tersebut akan terjadi, di belakang panggung saja aktifitas korupsinya mulai dijalankan. Setiap anggota yang mengikuti pawai di lapangan ini, diwajibkan membayar iuran sebesar lamanya beliau berpidato. Satu menit dihargai dengan sepuluh ribu. Sedangkan beliau, berpidato selama dua jam lamanya. Tentunya dengan pidato yang membahas hal sama seperti paragraf sebelumnya. Seketika pidato pun diakhiri, dan semua anggota mulai berbaris untuk membayar iuran partai. Iuran itu akan ditujukan untuk warga yang kurang mampu, katanya.

“Su... Ini jatah kamu. Cari lebih banyak lagi anggota partai, maka persenan buat kamu pun akan lebih banyak.” Jelas Dims, wakil umum dari partai ini.

“Terimakasih Pak Dims, tentunya nanti akan saya carikan lagi anggota partai yang lebih besar dari ini.” Kataku membual. Ini adalah kesempatan emas bagiku untuk mendapatkan uang, dengan tidak perlu letih mencari anggota. Pengurus harian partai ini ada 35 orang. Jadi, aku cukup santai sambil meneguk hasil keringat mereka. Itu baru namanya politik. Yang di atas merasakan nikmatnya, sedang yang di bawah mengunyah sekuat tenaga.

Dimensi mimpiku berubah. Kini, mimpi menggambarkan bagaimana partai kami unggul di pemilihan suara. Dan sekali lagi, pemimpin bodoh itu pun menjadi pemimpin negara yang sesungguhnya. Semua pengurus partai dijadikan sebagai menteri, ditambah dari partai yang lain. Itupun agar terlihat seimbang. Setidaknya, seorang Presiden harus lihai menyembunyikan kebohongan dari warga negaranya. Kini aku menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Aku bersyukur saja dengan kedudukan saat ini. Aku baru merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang pejabat negara. Rasanya membosankan, terlalu hidup mewah, komunikasi dengan sahabat menjadi renggang, terlalu dibatasi, dan tidak bisa menggoda wanita kembali. Entah sampai kapan aku bisa menahan semua ini, tapi sudahlah. Nikmati saja apa yang sudah Tuhan beri, karena sesungguhnya umat yang paling dicintai-Nya adalah umat yang selalu bersyukur akan nikmat yang diberikan oleh-Nya.

Hari ini adalah hari di mana semua pejabat negara berkumpul dengan Presiden. Aku sudah bersiap sebelum pengawal pribadiku terbangun. Aku tidak mau semua aktifitas harianku dipantau oleh orang yang tidak aku percaya. Andai saja dimensi mimpi memasukkan Rina sebagai istriku. Tentu aku akan sangat senang. Sayang, di adegan ini Rina sudah milik yang lain. Dan mereka sangat berbahagia tentunya.

“Ke mana kita hari ini, Pak?” Tanya supir pribadiku. Wajahnya masih mengantuk.

“Kita ke laut, memancing ikan teri! Ya ke Istana Negara lah. Kamu loh jam segini kok belum mandi, belum siap-siap. Bagaimana kamu mau jadi pejabat.” Kataku penuh kesal.

“Tapi, ini kan baru jam setengah lima, Pak. Adzan Subuh saja belum.”

“Kalau kamu mau jadi pejabat, maka kewajiban kamu adalah bangun terlebih dahulu sebelum rakyat bangun.”

Begitulah isi teguranku hari ini. Agar para calon pejabat bisa tahu, bahwa apa yang menyebabkan mereka kurang beruntung adalah terlalu mengikuti kemauan yang tidak sejalur.

Matahari mulai bangun dari tidur pendeknya. Saatnya memulai hari dengan senyuman. Perjalanan menuju Istana Negara begitu longgar. Longgar bukan karena Kota ini kosong, melainkan sengaja dibuat jalan khusus untuk para menteri dan pejabat negara. Aku bahagia melihat jalan yang kosong di depanku, tapi di belakangku, kebahagiaan itu berubah. Saat melihat kendaraan semua dihadang, demi aku. Seorang Menteri Perhubungan yang lewat di jalan masyarakat. Harusnya tidak seperti ini aturannya. Mereka dan aku sama. Sama-sama punya kepentingan yang tidak bisa dilewatkan. Ini adalah tanggungjawabku. Bagaimana membuat kota ini menjadi kota yang nyaman, tanpa kemacetan tentunya. Tapi, buat apa dipikirkan. Aku kan sedang dalam mimpi.

Istana Negara mulai ramai dipadati mobil-mobil mewah. Mobil dari uang rakyat. Setelah pintu ruangan rapat dibuka, serempak kami masuk ke dalam, dan mengambil tempat yang sudah disediakan. Semua pejabat yang diundang sudah datang, tinggal menunggu Presiden. Terlihat beberapa di antara pejabat yang menuliskan sesuatu di sebuah kertas. Entah naskah, atau bahkan siasat kebohongan baru.

Satu jam berlalu begitu saja tanpa kehadiran Pemimpi Negara. Aku bosan terlalu lama berkumpul di sini. Lihat saja, sebagian sudah mulai mengantuk. Pejabat macam apa ini. Di saat seperti ini masih sempat memanjakan kantuk. Tidak benar juga kalau aku terlalu menyalahkan mereka. Masih ada orang yang harus disalahkan. Siapa lagi kalau bukan Pemimpin Negara yang telat datang. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain mengusap dada, dan memohon kepada Tuhan semoga negara ini dilindungi dari gangguan-gangguan syetan hati.

Akhirnya tamu yang ditunggu-tunggu tiba setelah dua jam berlalu. Kami pun berdiri sebagai tanda penghormatan, dan duduk kembali setelah dipersilahkan. Rapat dimulai, para wartawan mulai memasukki ruangan.

Rapat dimulai dengan pembukaan dari Presiden. Berbagai masalah mulai dikupas, dari permasalahan paling kecil sampai yang berpengaruh. Masalah yang paling favorit hari ini adalah anggaran yang belum sampai ke daerah yang membutuhkan. Pasti ada maksud kenapa Presiden lebih memilih mengupas masalah tersebut, ketibang masalah yang lain. Padahal, masalah korupsi yang minggu lalu dikupas saja statusnya masih ditangguhkan. Biarkan saja, yang penting divisiku tidak ada yang mengganggu.

Perkumpulan pun selesai. Dengan inti yang sama saja dengan hari sebelumnya. Hukum harus ditegakkan memang itu inti dari negara yang siap revolusi. Kalau hukum hanya ada di mulut saja, maka anak kecil pun sudah sering merasakan. Korupsi itu seperti penyakit batuk. Yang tertular sudah pasti akan menular kembali ke yang lainnya. Jika sumber dari penyakitnya sudah ditemukan, dan diobati. Maka yang tertular pun akan sembuh, karena obatnya sudah ditemukan. Begitu juga dengan praktek korupsi. Jangan salahkan bila pejabat banyak yang korupsi, mereka itu hanya tertular. Sekarang tinggal mencari, siapa yang pertama kali menderita penyakit itu, dan apa obatnya. Bagaimana sekarang mau mencari tahu obatnya, yang mencarinya saja sudah tertular. Seperti masalah anggaran yang dibicarakan Presiden tadi. Seharusnya daerah yang miskin itu diberi anggaran tanpa adanya syarat. Sama saja seperti seorang yang sedang mencari pekerjaan. Mereka mencari pekerjaan demi mendapatkan uang, tapi prakteknya sekarang berbeda. Yang ingin bekerja harus mempersiapkan uang sebagai modal pertama. Daerah miskin kan sudah pasti membutuhkan, tapi kenapa mereka harus memenuhi syarat. Sedangkan untuk memenuhi syarat tersebut saja membutuhkan uang. Ada aja cara untuk korupsi. Kasian aku dengan mereka yang menjadi korban.

Kini malam memintaku terlelap. Sudah saatnya memikirkan individual, setelah hampir lima belas jam bertarung dengan pikiran.

“Su...! Bangun! Ini ada nasi uduk buat kamu! Su...!” Teriak Bu Marni, sambil mengetuk pintu. Membangunkanku dari mimpi buruk malam ini.

Itulah mimpi yang tadi malam menemani tidurku. Aku berharap, semoga mimpi tadi, hanyalah mimpi dan hanya ada di diary ini saja. Karena bila semua itu sampai terjadi, aku hanya bisa termenung sebagai warga biasa. Bukan sebagai pejabat yang selalu berfoya dengan uang masyarakat.

Setelah satu bungkus nasi uduk lenyap dalam hitungan menit, aku pun mulai bergegas untuk merapihkan buku-buku. Hari ini ada pelatihan membaca Undang-Undang Dosen, bertemu dengan Rina, foto close-up dengan mahasiswi baru, dan yang paling aku senang adalah makan gratis di warung Mas Doni. Kemarin, di warung itu ada kuis berhadiah pelacur, dan aku menang. Sayang, Rina ada di sebelahku saat itu, jadi aku harus benar-benar menyembunyikan karakter burukku di depan dia. Daripada dapat pelacur, lebih baik dapat voucher makan gratis sepuasnya.

Okey kawan, aku berangkat ke kampus dulu. Kejadian hari ini akan aku tulis di lembaran selanjutnya. Do’a dari Su buat teman-teman, semoga hari ini menjadi hari yang paling konyol untuk kalian tulis di diary. Karena, kalau hari ini menjadi hari baik kalian, kapan kalian merasakan hari konyolnya? Have a nice day friend.

Di Atas Ranjang Purba, 3 Januari


Read more

0 Diary Su ( Episode Kedua )


 Jam menunjukan pukul 4 subuh. Sisa banjir tadi malam masih menggenangi lantai rumahku. Walau tidak seberapa banyak, tapi sudah sangat merepotkan. Aku berhasil bangun terlebih dahulu, sebelum sekumpulan ayam jantan bernyanyi. Bukan karena jadwal harian aku bangun pagi, tapi karena suara bising yang terdengar dari dapur. Malam tadi aku berhasil menangkap 10 ikan sapu-sapu berukuran besar, dan beberapa yang berukuran kecil. Lumayan hasil buruanku malam tadi. Sesegera mungkin aku kumpulkan hasil banjir malam ini, dan membawanya ke Pak Somadi. Dia adalah pemilik restoran seafood yang paling terkenal di daerahku. Dulu, aku sangat suka makan di restoran Pak Somadi. Namun, belakangan ini sudah tidak. Bahkan berjanji pada diri sendiri untuk tidak sesekali melangkahkan kaki ke sana. Bukan karena menunya yang tidak enak, akan tetapi kejujurannya dalam menulis menu yang kurang. Salah satu contohnya adalah menu ‘Balado Pari’. Bagi siapa saja yang mungkin hanya singgah sebentar di restoran itu, akan tertipu dengan rasa ikan yang begitu nikmat. Padahal yang dijadikan lauk ikan di sana bukan ikan pari, melainkan ikan sapu-sapu. Sempat aneh, mengapa restoran sebesar itu masih kurang kejujuran. Ternyata di negara ini pribahasa ‘di atas langit masih ada langit’ sudah tidak terpakai, karena yang ada sekarang adalah ‘di bawah bumi masih ada bumi’. Seorang pemerintah yang lihai menyembunyikan kejujuran jangan pede dulu, karena di sejatinya masyarakat yang di bawah kalian pun lebih pintar berpolitik, walau masih sekelas ikan sapu-sapu. 
 
Perjalananku menuju restoran masih agak jauh. Sambil berjalan aku memperhatikan fenomena yang mencekam. Masyarakat di sekitar sini menganggap judi sebagai ibadah yang sifatnya wajib. Sesekali saja mereka tidak berjudi, maka bandar yang mereka anggap sebagai Nabi akan datang menegur dan meminta pajak ketidakhadiran. Salah satu bandar yang paling terkenal di sini adalah Bang Evran, mengaku sebagai alumnus Nusa Kambangan dan belajar ilmu judi selama kurang lebih 10 tahun. Wajahnya yang terlihat garang, badan yang berotot, kadang membuat siapa saja yang melihatnya merasa takut. Itu bagi yang belum tahu kebiasaan buruknya, bagi yang sudah tahu seperti aku ini, mungkin biasa saja. Secara fisik mungkin ia terlihat garang, tapi jangan salah teman. Bang Evran itu pecinta kartun. Semua karakter kartun dihafalnya, sampai yang paling ia kagumi adalah Sponge Bob. Bagaimana? Masih takutkah Anda dengan Bang Evran? Jawab di dalam hati saja, karena saya masih ingin melanjutkan cerita perjalanan saya menuju restoran.

Pasar Ikan Rawa Teri. Ini adalah rintangan keduaku. Jalanan yang becek, daerah yang bau, ditambah rintik hujan yang membawa aroma amis ke jalanan membuat pasar ini semakin laris dikunjungi para lalat. Pasar ini terbagi menjadi dua daerah yang berbeda mutu. Pasar yang ada di sebelah kanan jalan adalah mutu pabrik. Harga ikannya pun lebih mahal dari pasar sebelah, begitu juga mutu ikannya. Sedangkan pasar yang di sebelah kiri adalah mutu rakyat. Semakin pagi berkunjung ke pasar ini, maka semakin murah harga ikannya. Sayangnya, mutu ikan di sini tidak terjamin. Tahun baru lalu aku mencoba membeli ikan di sini, begitu segar kalau dilihat langsung. Tanpa pikir panjang, lembaran lima ribuan pun melayang. Begitu sampai di rumah, rasa letihku dibayar kekecewaan. Karena daging ikan yang di dalam sudah berubah menjadi makhluk hidup. Aku tidak mau menuliskan nama makhluk itu di sini. Silahkan tebak sendiri, apa nama makhluk hidup yang ukurannya seperti nasi dan hobi mengerumuni bangkai.

“Su... Nggak beli ikan lagi? Masih bagus nih. Baru turun dari kapal!” Tawar Mang Ondel. Salah satu dari puluhan tukang ikan di pasar ikan sebelah kiri.

“Nggak dulu mang. Ikan yang tahun lalu saya beli juga belum habis dimakan.” Kataku kesal. Karena di tempat ini aku membeli ikan yang di dalamnya sudah berkembang biak makhluk aneh itu.

“Dimakan sama siapa Su?” Tanyanya dengan raut wajah aneh.

“Belatung!” Teriakku dan langsung beranjak pergi.

Akhirnya aku bisa keluar dari jeratan bau amis dan lalat yang sedaritadi hinggap di wajahku. Aku tarik nafas dalam-dalam, dan hembuskan. Dua lalat berhasil pergi dari ujung hidungku. Dasar lalat nakal. Restoran Pak Somadi sudah mulai tampak. Tapi, masih ada satu rintangan lagi yang harus aku lewati. Rintik hujan masih menemani langkahku, sedang banjir sudah mulai surut.

Tempat Pembuangan Akhir Sampah Jaya, itulah rintangan terakhirku untuk bisa sampai ke restoran. Belum sampai di TPA, aroma tidak sedap mulai tercium. Aroma itu bercampur dalam satu resep, lebih parah dari Pasar Ikan Rawa Teri aromanya. Aku berjalan tidak sendiri. Di sebelahku ada anak kecil yang membawa karung di pundaknya, dan beberapa orangtua yang begitu asyik mendiskusikan hasil sampah kemarin. Aku tidak boleh kalah semangat dengan anak kecil itu. Semangat untuk menjalani hidup yang jauh lebih sadis dari hukuman para koruptor di negara ini. Bayangkan saja, hari masih gelap tapi dia sudah harus bersiap menunggu truk-truk pengangkut sampah. Coba saja para pejabat di gedung mahal itu mau mengikuti pola hidup masyarakat pinggiran, aku jamin korupsi akan sesegera mungkin hijrah dari kehidupan mereka.

“Tong! Cepetan jalannya, truk sampah udah nurunin sampahnya. Jangan lupa, kalo dapet harta karun bagi dua ya!” Teriak salah seorang dari orangtua kepada anak tadi. Memintanya untuk berjalan cepat.

“Santai Beh! Do’ain aja moga ada orang kaya yang buang emas ke tempat sampah!” Balasnya.

Indah sekali do’a dia pagi ini. Bagus. Semoga saja Tuhan mendengar do’anya. Masih kecil saja sudah mulai iseng, bagaimana nanti kala dia besar. Aku hanya bisa mengusap dada pelan-pelan.

Perjalananku berakhir di sebuah perempatan jalan. Restoran itu letaknya di seberang jalan. Aku masih harus sabar menunggu lampu merah. Sesampainya di seberang jalan, aku langsung masuk ke dalam restoran dan langsung menemui Pak Somadi. Dia terlihat agak sibuk dengan kalkulator di tangannya. Entah apa yang dia hitung.

“Pak Somadi, ini hasil banjir tadi malam pak. Lumayan, ada 10 ekor yang besar.” Kataku sambil menghampiri.

“Bagus. Ini uangnya. Kalo bisa besok harus lebih banyak ya Su. Di laut lagi jarang ikan. Nanti kalo kamu dapet udang juga boleh deh dibawa. Oke?” Katanya sambil menyerahkan lembaran sepuluh ribu.

“Siap Pak Somadi.”

Transaksi dengan bandar ikan sapu-sapu hari ini selesai. Lumayan hasilnya, bisa buat ongkos bolak-balik kampus selama seminggu. Sesegera mungkin aku kembali ke rumah untuk bersiap pergi ke kampus.

Fajar pagi sudah mulai terlihat, sayang masih tertutupi awan mendung. Beberapa buku yang sudah aku siapkan di atas lemari daritadi malam. Sekarang tinggal membersihkan air di dalam rumah, sambil menunggu jam tujuh.

Setelah semuanya bersih, aku pun beranjak menuju kampus. Ini yang paling aku suka. Jalan di pagi hari, sambil menyapa mahasiswi yang masih asik ngegosip di kantin kampus. Oh iya, aku lupa menulis kalau kampusku itu tidak jauh dari rumah. Hasil tangkapan ikan sapu-sapu tadi malam sebenarnya bukan buat ongkos ke kampus, melainkan untuk makan pagi. Kebetulan biaya kampusku sudah diselesaikan oleh Rina. Nanti saja aku jelaskan kenapa setiap semester dia melunasi tagihanku, di episode yang lain.

“Selamat pagi wanita cantik. Pagi-pagi kok sudah menebar aroma wangi? Rindu kah kamu dengan orang yang paling tampan di kampus ini?” Kataku sambil menghampiri gerombolan mahasiswi yang sedang asik ngegosip.

“Nggak kakak. Terimakasih buat pujiannya. Kakak emang laki-laki paling ganteng di kampus ini, sayang kita-kita lagi ngebohongin kakak.” Serempak menjawab lalu pergi.

Angin pagi menghembus kencang, membawa dedaunan kering menabrakku, lalu pergi lagi. Seperti drama-drama Korea. Sudahlah, jangan diteruskan lagi episode di kantin ini. kita berganti ke episode di mana kampusku kedatangan seorang dosen dari Universitas Tenang Saja. Mau tahu bagaimana serunya ketika dia menjelaskan tentang ilmu politiknya? Tenang teman, akan aku tuliskan keceriaan di kelas hari ini.

Kelas mulai dipenuhi para mahasiswa yang ingin mendengar mata kuliah dari dosen yang konon masih satu keturunan dengan dalang pewayangan era Pangeran Diponegoro. Beruntung aku sudah duduk di paling depan. Beberapa mahasiswa yang tidak dapat masuk hanya bisa menyelipkan jarinya di jendela sambil merekam dialognya. Dosen yang ditunggu-tunggu pun memasuki kelas. Penampilannya biasa saja. Tidak seperti dosen-dosen pada umumnya. Dia begitu energik, wajahnya sudah membuktikan kalau dia pandai. Aku sudah tidak sabar menunggu pencerahannya hari ini.

Penjelasan dimulai dari praktek politik kasar yang umumnya dipakai para masyarakat biasa. Tidak sia-sia hasil tangkapanku malam tadi, sampai akhirnya aku mendapat pencerahan tentang politik yang sesungguhnya dari sang maestro. Setelah semua penjelasan sudah dipaparkan, dosen pun akhirnya mempersilahkan para mahasiswa untuk bertanya. Oh iya, aku lupa memberi tahu nama dosen itu. Nama sang maestro adalah Diyatno Notonegoro Sing Apik, MA. MM. MH. Bagaimana? Sudah kenal? Agak sulit memang menghapal namanya, tapi dia meminta kami untuk memanggilnya dengan sebutan Pak Sing. Biar terkesan ada nama Inggrisnya, kata beliau. Lanjut kembali ke forum tanya jawab antara mahasiswa dan dosen. Beberapa mahasiswa bertanya dengan pertanyaan yang aku tidak mengerti. Dan pastinya, sang maestro pun menjawabnya dengan lancar. Sekarang giliran aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Pak Sing, kalau boleh saya ingin bertanya.” Pintaku di tengah forum.

“Silahkan.” Jawabnya tersenyum dengan tangan yang apik memainkan kumisnya.

“Dari mana Pak Sing dapat resensi tentang praktek politik yang baru saja Bapak jelaskan?”

Mahasiswa terdiam sejenak. Keadaan kelas sepi. Pak Sing pun terhenti dari senyumannya. Wajahnya mulai kelihatan bingung tidak karuan.

“Aduh... Iya ya... Dari mana ya?” Wajah malunya mulai terlihat sambil tersenyum kecil.

Aku kecewa. Dan rasa kecewaku benar-benar tidak karuan. Begitu juga para mahasiswa yang mengikuti dialog bersama Pak Sing. Baru saja aku menganggapnya sebagai sang maestro, sekarang sebutannya sudah resmi aku ganti menjadi sang coro. Yang membuatku kecewa adalah, dia menjelaskan tanpa ada resensi. Sabda dari mana lagi yang dia dapat kalau bukan dari sabda diri sendiri. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Sekejap, para mahasiswa pun keluar dari dalam kelas dengan wajah yang kecewa. Sama sepertiku. Sudah sering aku menemui seorang yang pintar akan ilmu, tapi tanpa ada resensi. Memang betul, out the book itu perlu. Tapi, tidak mesti semuanya harus tanpa resensi. Terlalu cenderung pada resensi juga kurang baik. Entahlah, aku hanya percaya pada maestro pribadiku BJ. Habiebie. Kepintarannya melebihi cerita sang kancil yang biasa didongengkan Ibu sebelum aku tertidur. Aku juga punya maestro dalam hal pemahaman sosial ala sabda logika, siapa lagi kalau buka Sudjiwo Tedjo. Manusia yang paling membenci Undang-Undang dan peraturan yang tertulis tanpa logika ini adalah patokan cita-citaku. Aku ingin menjadi dia, tapi tidak sepenuhnya menjadi dia. Hanya permainan logikanya saja yang aku anut. Jadi, ketika aku jadi pemerintah, aku tidak terlalu muluk kepada Undang-Undang Dasar saja, melainkan menggunakan otak kanan dan otak kiri. Itu baru namanya revolusi.

Rintikan hujan yang sedari malam menusuk perut bumi seketika terganti dengan cahaya matahari. Cahaya itu masih terlihat malu. Entah karena tertutup awan mendung, atau memang sudah bosan menyinari manusia. Di luar kampus para mahasiswa mulai menggandeng pasangannya. Satu per satu mulai beranjak pulang, sekarang tinggal aku sendiri di sini. Di depan warung Mas Doni, berharap ada keajaiban Tuhan yang datang dan mengajakku pergi untuk sekedar makan, atau mengisi perut.

“Ngapain kamu di sini Su? Semenjak kapan Mas Doni punya tukang parkir?” Tanya Rina yang seketika muncul di hadapanku.

“Tuhan memang adil. Jangan sungkan buat ngajak makan Rin. Aku nggak ada kerjaan kok hari ini.” Kataku sembari nyengir.

“Tuhan mungkin juga lagi marah sama aku Su.” Wajah Rina agak murung.

“Kenapa?”

“Karena Tuhan sudah mempertemukan aku yang lagi lapar, dengan kamu yang juga lagi butuh makanan.”

Aku merasa tersindir dengan ucapan Rina. Tidak seperti biasanya dia menolak rayuanku untuk makan bersama, walau semua biaya dia yang menanggung. “Ya udah lah, aku pulang dulu Rin,” kataku sembari melangkahkan kaki.

“Tapi, Tuhan bakal lebih marah lagi Su, kalau aku sampai bikin orang yang aku sayang kelaparan.” Ucap Rina sembali tersenyum.

“Bagus. Kamu sudah menjalankan sila ke 5 dari Pancasila. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kataku sambil tertawa, diikuti senyuman kecil Rina.

Kami pun berjalan menuju rumah makan kecil-kecilan yang letaknya tidak jauh dari kampus. Di sini lah tempat biasa kami menghabiskan waktu untuk saling bermesraan. Rumah makan ini punya keistimewaan tersendiri, dibanding rumah makan yang lainnya. ‘Ada Uang Boleh Makan, Tidak Ada Uang Boleh Ngutang’ inilah semboyan dari Rumah Makan Asal Kenyang yang paling digemari para masyarakat. Masyarakat dari kelas menengah ke bawah, sampai yang paling bawah.

Setelah menu makanan tiba, sesegera mungkin kami berebut lauk. Maklum, di sini lauknya dicampur. Jadi yang memilih lauk bukan pembeli, melainkan penjual. Aku dan Rina punya kebiasaan yang buruk setelah menu datang. Mau tahu apa kebiasaannya? Kebiasaan buruk kami adalah membungkus lauk yang baru saja dihidangkan. Kemudian disembunyikan di dalam tas, dan pergi. Biasanya, seorang kasir hanya menghitung berapa piring yang ada di meja. Semakin banyak piring, maka semakin mahal. Belum lagi ditambah uang jasa pengiriman menu dari dapur ke meja.

Sudah setengah jam berlalu, dan menu di meja pun ikut berlalu. Saatnya kami untuk pergi. Kasihan yang di luar sana masih banyak yang mengantri. Setelah Rina selesai membaayar administrasi, kami pun beranjak pergi dan kembali ke rumah masing-masing.

“Su... Besok kwitansi pembayaran semester diambil ya, sama bukunya juga. Besok aku tunggu di kantin.” Ucap Rina sebelum naik ke angkot.

“Oke sayangku. Terimakasih banyak ya. Hati-hati di jalan.”

Angkot yang dinaiki Rina pun mulai melaju. Kini giliranku berjalan melewati Perumahan Pelacur Permai, masyarakat sini biasa menyingkatnya menjadi pertiga. Rintangan saat ini tidak seperti yang tadi pagi aku lewati. Di sini lebih ke daya nalar kita melihat paha-paha pelacur yang kadang dipamer di depan gerbang. Bila kebanyakan wanita lebih suka menutup auratnya, maka di sini berbeda. Kebanyakan warganya beraktifitas menggunakan bikini saja. Ada salah seorang pelacur yang akrab denganku. Namanya Mbak Jessica. Itu nama kotanya. Nama aslinya adalah Murikah Sungartini. Berdomisili dari Jawa Paling Tengah. Kenapa aku bisa kenal akrab dengan dia nanti aku ceritakan lagi di episode selanjutnya.

Sesampainya di rumah, buku kuliah pun sudah tertata rapih kembali, maka saatnya nonton televisi. Penasaran aku dengan kabar terbaru dari Tanah Air. Aku lebih senang nonton berita, selainnya kurang. Berita itu memberi kita banyak ilmu pengetahuan sosial, walau kebanyakan dari berita itu kadang simpang siur, atau bahkan malah dusta.

Sudah aku tebak, pasti berita hari ini membicarakan tentang pemerintah yang korupsi. Terkadang aku menggerutu sendiri, jika sebuah berita terlalu fokus menayangkan berita yang seakan-akan mendramatisir. Masalah lumpur saja belum selesai, sekarang malah berganti wacana ke korupsi. Nanti, masalah korupsi belum kelar, berganti ke masalah yang lainnya. Penonton seakan dihipnotis dengan kabar-kabar yang tersebar di televisi, padahal secara tidak langsung kejadian yang harusnya dapat banyak perhatian, lebih dimunculkan. Korupsi itu kan ibadahnya para pemerintah. Tanpa korupsi, dari mana mereka bisa punya mobil mewah. Untung saja, aku tidak punya cita-cita menjadi seorang Presiden. Karena kalau itu sampai terwujud, aku akan mengkorupsi setengah dari kekayaan negara, dan berpesta pora di negara lain, sambil mengompori masyarakat dengan foto, atau bahkan video. Seperti bintang korupsi yang sekarang marak menjual nama di MeTube.

Tidak terasa, hari sudah menjelang malam. Sudah saatnya aku bebenah seperti biasa. Bagus hari ini tidak hujan, jadi aku tidak perlu repot-repot memberi pakan ikan sapu-sapu lagi. Aku harus tidur lebih sore, agar besok bisa bangun pagi. Aku izin tidur dulu ya kawan. Bangunkan aku pukul 6 pagi. Selamat malam semuanya. Semoga kalian mimpi indah malam ini. God save your dreams friends.

Kontrakan Pinggir Kali Su, 2 Januari 2021
Read more

0 Diary Su ( Episode Pertama )


 “Apa yang membedakan antara cinta dan benci Su?” Tanya Rina sambil sesekali mengikuti lirik lagu.

 “Cinta itu belum tentu benci, tapi benci sudah pasti cinta.” Kataku pelan.

 “Owh.” Kami pun meneruskan perjalanan kami menuju gerbang kampus. Sesekali teman kampusku menertawai dan kemudian mengejek. Bagus aku sudah terbiasa dengan kata-kata mereka. Itu aku, entah bagaimana Rina menanggapi.

 Aku Su, begitu teman kampus memanggilku. Nama legkapku Suheri Suhartono. Kuliah di Universitas Merdeka Jaya, fakultas tekhnik. Yang tadi bertanya kepadaku adalah Rina. Nama lengkapnya Surina Suhartina. Kami punya kesamaan yang aneh, itu kata teman-teman kampus. Entahlah, apa yang membuat kami berdua begitu sama. Padahal, kedua orangtua kami berbeda. Orangtuaku berasal dari Jawa, sedangkan orangtua Rina dari Medan. Dari fisik saja sudah amat jelas berbeda. Aku laki-laki, dan Rina perempuan. Sudahlah, biarkan saja mereka mengejekku, yang terpenting kami sudah membiasakan diri. Terbiasa untuk diejek dan ditertawai oleh orang banyak. Suatu hari pernah aku berfikir, apa yang diidamkan Ibu ketika hamil? Badutkah? Atau lelucon konyol yang akhir-akhir ini mulai marak terlihat di televisi? Hanya Ibu dan Tuhan yang tahu.

 Kampusku adalah kampus yang paling terkenal di Jakarta, khususnya wilayah Jakarta Sebelah Timur. Di sekeliling kampus ini ada diskotik, tempat pelacur murahan, tempat judi terbesar, dan warung minuman keras. Yang paling aneh adalah, kenapa akreditas kampus ini sampai melonjak tinggi. Di papan nama kampus saja sudah jelas tertulis, bahwa akreditas Universitas Merdeka Jaya “A++”. Yang lebih aneh lagi, seragam kampus kami tidak jauh beda mininya dengan sekolah elit di Korea. Beberapa angkutan umum menyebut kampus kami dengan Papalus (Pangkalan Paha-Paha Mulus). Aku sarankan jangan pernah mencoba naik angkot dari sini pada jam-jam kuliah, karena antrian panjang hampir membuat macet jalanan. Kalau ditanya apa yang membuat jalanan macet, jawabannya adalah satu. Paha-paha mulus sedang jalan beriringan masuk ke dalam. Oke, itu sekilas info tentang kampusku.


Malam ini Jakarta diguyur hujan lebat, sampai air kali Cibanjir meluap dan masuk ke dalam-dalam rumah. Tanpa permisi tentunya. Para warga beriringan keluar rumah sambil membawa karet ban yang sudah disiapkan di tembok-tembok rumah. Itu mereka, bukan aku. Banjir itu adalah hal biasa di daerah ini. Karena sudah menjadi bulanan masyarakat sini, sampai ketua RT pun melarang warganya untuk memiliki kendaraan beroda. Apapun itu. Pertengahan tahun kemarin sebuah pengumuman ditempel di tembok pintu air, yang memberitahukan bahwa Gubernur Jakarta Sebelah Timur akan memberikan subsidi kayu kepada warga sekitar komplek Cibanjir. Kayu itu bukan untuk diolah menjadi rumah atau gerobak jualan, melainkan perahu. Kenapa harus perahu? Karena di daerah sini dilarang menggunakan kendaraan beroda. Antisipasi banjir, dan Tsunami kecil-kecilan kata Fawuzi Wibowo, selaku Gubernur Jakarta Sebelah Timur. Kalau ditanya kenapa masyarakat yang sudah terbiasa kebanjiran malah seakan ketakutan dan berhamburan keluar rumah, mungkin jawaban yang paling tepat adalah agar subsidi anggaran daerah ditambah. Jadi, ketua RT bisa mengkorupsi dana anggarannya, kemudian membagikan secara rata kepada warga. Praktek korupsi kelas kecil, tapi sudah hampir 10 tahun tidak ada KPK (Komisi Praktek Korupsi) yang curiga dengan Pak Samid bin Ahmad bin Zaenudnud bin Kulaimat selaku ketua RT seumur hidup. Dari komplek Cibanjir, Suheri Suhartono melaporkan.

Air semakin meluap. Di beberapa titik keluarnya air, sering terlihat ikan sapu-sapu yang ikut silaturrahmi ke dalam rumahku. Biarlah, sudah aku siapkan pelet ikan di dapur. Karena, selaku tuan rumah harus melayani tamu dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai si tamu merasa bosan masuk ke dalam rumah kita, itu kata guru mengajiku kala duduk di bangku Sekolah Dasar. Di kala ikan sapu-sapu itu makan pelet di dapur, ini adalah kesempatan yang pas bagiku untuk menuliskan sebuah cerita cinta yang pahit-pahit pare. Tapi manis, karena sudah ada kecap cap kasih sayang yang menyirami pare cinta itu. Gombal? Memang. Sebagai anggota kaum Adam sudah kewajiban untuk mempelajari kata-kata indah, yang membuat kaum Hawa terangsang, dan mengajak kenalan, dan menjalin hubungan, dan putusan.

Cerita dimulai dari masa di mana aku masih terlihat culun. Baju sekolah yang paling putih, kancing baju yang berwarna-warni, bentuk rambut setengah keren, dan kaos kaki bola lengkap dengan sepatu bolanya. Aku adalah laki-laki yang berani, karena mampu merantau jauh dari tempat di mana kedua orangtuaku tinggal. Sudah waktunya aku menggapai mimpi untuk bisa sekolah di Kota Metropolusi. Oh iya, kedua orangtuaku tinggal di Jawa Timur Dikit. Kala itu, sudah kutempel tulisan besar berwarna-warni di atap kamarku untuk merantau. Aku adalah Superman kelas kampung. Karena dari banyaknya warga yang seumuran denganku, tidak ada yang berani merantau. Kebanyakan dari mereka hanya bisa berkecimpung di lingkungan yang itu-itu saja. Kasian mereka. Sebentar, BlackBorringku berbunyi.

“Halo Su, kamu di mana de? Ibu kangen banget sama kamu.” Tanya Ibu sambil sesekali terdengar mengunyah. Suaranya masih sama. Cantik seperti orangnya, lebih mirip seperti suara Momo Geisha. Penyanyi favoritku.

“Dede lagi di Kota Bu. Kan udah dede bilang dari kemaren-kemaren kalo dede lagi di Kota. Dede pengen menggapai cita-cita Bu, pengen kuliah di sini.” Jawabku menahan kesal. Karena Ibu selalu bertanya pertanyaan yang sama tiap kali menelponku.

“Tapi, mau sampai kapan dede di sana? Sudah 6 tahun kuliah, kok masih semester 5. Ya sudah, cepat pulang ya sayang. Jangan lupa makan dan selalu ingat apa kata Ibu.”

“Iya Ibu. Nanti kalau ada yang nanya dede udah semester berapa, bilang aja dede sekarang kuliah pasca sarjana, mengambil fakultas tekhnik.”

“Pasca apa?” Tanya Ibu.

“Sarjana Ibu. Pokoknya bilang aja dede udah lulus S1. Udah dulu ya Bu, di sini lagi banjir. Menara sinyalnya hampir mau tenggelam, takut keputus duluan.”

“Ya sudah, jangan lupa ban bebek yang Ibu kirim ditiup. Dede kan nggak bisa berenang. Hati-hati ya dede. Cepat pulang. Ibu dan Bapak menunggu di sini. Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.”

“Wa’alaikum... tut... tut... tut...” Sinyal pun hilang. Maklum, provider ponselku kurang mendukung untuk daerah yang rawan banjir. Oke, aku lanjutkan kembali kisah kasihku.

Di buku diariku tercatat pertama kali aku bertemu dengan Cintia adalah hari Rabu, tanggal 3 September 2020. Cintia adalah mahasiswi kampus yang unik dan terkesan berbeda dengan mahasiswi yang lainnya. Di antara 700 mahasiswi, hanya dia yang menggunakan rok setengah panjang. Penampilannya tidak begitu culun. Cantik, imut, manis, menggairahkan, langsing, dan lain sebagainya. Sekali lagi, mirip seperti artis favoritku. Sayang, kekurangan dia hanya satu. Berkacamata besar. Itu saja yang kurang, selebihnya fine.

Dosen Biologi mengakhiri pelajaran sambil berpesan singkat. “Tingkatkan mutu, dan kualitas, dan kuantitas Biologi kalian. Baik di luar maupun di dalam. Karena manusia butuh Biologi, kalau tidak ada Biologi maka tidak ada keturunan.” Seperti itu kata-kata yang kudengar. Serentak para mahasiswa berdiri dan mengkerumuni Bu Magda untuk bisa foto bareng dengan gaya close up. Pernah sesekalinya aku bertanya kepada temanku, kenapa dia begitu nge-fans-nya dengan Bu Magda.

“Bu Magda itu seksi, cantik, anggun, putih, rambutnya yang lurus begitu indah, lekukan lehernya yang seksi begitu menggairah, telinganya yang kecil begitu panas, dan yang paling bikin gue nafsu adalah bibirnya. Bibirnya itu seperti pete. Tipis, tapi wanginya tahan lama.” Jawab Febri. Mahasiswa unggulan di bidang Biologi dan Sastra.

Matahari semakin tinggi. Hawa panas yang ditiupkan angin membuat para mahasiswi melepas satu kancing bagian atas secara serentak. Karena itu salah satu dari peraturan yang tertulis di Undang-Undang Dosen no. 39 Pasal 33. Tapi, berbeda dengan calon kekasihku. Dia tidak mau membuka kancingnya, karena ada beberapa hal. Salah satunya yang aku tahu adalah, di tengah-tengah dadanya ada tai lalat yang besar.

Aku berjalan menuju lorong tembok Cina, begitu para mahasiswa menyebutnya. Karena, untuk berjalan menuju gerbang keluar lorong membutuhkan waktu 1 jam. Sesegera mungkin aku langkahkan kaki, agar cepat sampai di warung Mas Doni. Warung favorit mahasiswa kampus ini. Yang membuatnya semakin digemari adalah tulisan yang ada di tembok warung. “Warung Doni (siang) Warung Dona (malam)” itu tulisan yang membuatnya semakin banyak pengunjung. Salah satunya, aku. Tapi, hanya siang saja.

“Pasti mau ke warung Mas Doni ya?” Tanya Cintia dengan wajah agak murung.

“Eh ada si cantik. Iya nih. Panas banget, pengen minum yang seger-seger. Kok cemberut gitu sih cantik?” Kataku dengan nada manja.

“Baru putus sama Hendrik. Tapi, aku bingung Su.”

“Apa yang mesti dibingungin? Kalau sudah putus ya putus. Kan dirimu itu cantik, kenapa mesti bingung. Cari laki-laki lagi yang lebih mengerti akan arti cinta yang sesungguhnya. Kalau dirimu bingung terus, kapan mau nggak bingungnya.” Kataku serius.

“Aku bingung. Soalnya aku belum bisa nerima keputusan dia. Aku belum bisa memisahkan cinta dan benci aku ke dia Su.”

“Begini saja, kita ngobrol bareng di kafe sambil santai. Barangkali aku bisa kasih solusi yang baik dan benar. Tentunya tidak terlepas dari ajaran agama dan pemerintahan negara kita Indonesia. Gimana?”

“Emang kamu punya duitnya?” Tanya Cintia.

“Kan kamu yang punya masalah, jadi kamu yang ngeluarin duitnya. Di negara kita kan begitu. Kita yang punya masalah, kita yang ngeluarin duitnya biar masalah kita dapet solusi dari advokat hukum atau pengacara.” Kataku mengelak. Karena jujur saja, sekelas Starbox mana punya uang. Tagihan bulanan di warung Mas Doni saja sudah nunggak 5 bulan.

“Nggak pernah berubah. Oke deh, tapi bener yah bisa kasih aku solusi.”

“Iya Cintia Sandra Pratiwi Gandapritami.”

Setelah kesiapanku untuk menyelesaikan masalah dia dan memberi solusi, akhirnya kami pun berjalan menuju sebuah kafe di bilangan Bundaran Hotel Indah, tepatnya di Plaza Grand Indah. Mobil sedan Cintia pun melaju kencang melewati jalur Busway. Maklum, keduanya sudah menahan haus yang sedaritadi menguasai.

Setelah perjalanan panjang yang memakan waktu hampir 15 menit kami kuasai, akhirnya sampailah di tempat tujuan. Aku masuk ke dalam terlebih dahulu untuk mencari tempat duduk yang nyaman, sedangkan Cintia masih sibuk mencari tempat parkir yang teduh. Bagiku, ini adalah hari spesial. Karena hari ini, aku berhasil merayu Cintia untuk bisa duduk bersama sambil santai. Ini adalah rayuan ke 75 ku, dan berhasil. Setelah aku mendapat tempat duduk yang nyaman, barulah aku mulai merangkai kata-kata untuk bisa menggantikan posisi Hendrik di hatinya.

Terlihat Cintia sudah menemukan tempat parkir yang nyaman. Ia pun berjalan masuk dan kemudian menghampiriku. Perasaan yang ada saat ini bukan panas lagi, tetapi gugup. Gugup karena Tuhan baru saja mengirimkan bidadari-Nya untukku.

Perbincanganpun dimulai setelah menu makanan kami pesan. Cintia begitu serius sekali menjabarkan awal mula ceritanya. Sesekali airmatanya keluar. Dia begitu terpukul akan kejadian yang baru saja menimpanya. Kasian dia. Tidak tega aku melihat wanita cantik menangis. Ibuku bilang, airmata wanita itu adalah palu bagi siapa yang mencintainya. Semakin banyak airmata yang mengalir di pipinya, maka semakin besar palu yang menghantam kita.

“Okey. Tenang dulu ya Cin, tarik nafas pelan-pelan dan hembuskan. Aku tahu, bagaimana rasanya bila kita ditinggal orang yang paling kita cintai. Tentu sangat terpukul. Tapi, bukan airmata yang kita jadikan tameng untuk menahannya. Adalah keikhlasan yang diberikan Tuhan, agar kita bisa semangat lagi menjalani hidup. Walau, tanpa ada dia. Dari dirimu lahir saja, Tuhan sudah kasih ciptakan jodohmu juga. Jadi, buat apa ditangisi? Minum dulu airnya, biar agak tenang. Aku nggak tega ngeliat kamu nangis.” Jelasku sambil menyodorkan segelas air.

“Su, kenapa Tuhan kasih kita cinta? Lalu, kenapa juga Tuhan sisipkan kebencian di cinta itu?” Tanya Cintia. Pertanyaan ini sudah pernah ditanya oleh Rina, dan aku berhasil menjawabnya. Materi cintaku bilang pertanyaan ini adalah pertanyaan dasar dalam ilmu cinta.

“Karena kita manusia, bukan hewan.” Jawabku singkat.

“Itu doang? Nggak ada penjelasannya gitu?”

“Manusia itu makhluk yang paling sempurna, dan kamu pun tahu itu. Anggaplah cinta yang ada di manusia itu sebagai nasi, dan benci adalah lauknya. Kita masih tetap bisa makan, walau dengan nasi saja. Tapi, kurang begitu nikmat. Karena, tidak ada lauknya. Maka, begitu juga dengan cinta. Setiap manusia pasti punya rasa cinta, dan itu maklum. Tapi, tanpa adanya kebencian, rasanya cinta itu kurang nikmat. Kurang seru.”

“Tapi, benci kan dilarang, bahkan harus dijauhi.” Kata Cintia sambil meneguk air yang hampir habis.

“Benci dalam arti selamanya, tapi kalau benci untuk sementara dan dengan kebencian itu kita jadi mengerti, ya boleh-boleh saja.”

Cintia terdiam. Mungkin agak sulit mencerna penjelasanku. Beberapa kali dia minta dijelasi lebih jelas tentang ilmu cinta. Beruntung aku mengenal Rina, sahabat yang memiliki keanehan yang sama. Dari Rina aku mengenal apa itu cinta. Dan Rina yang mampu merubah penampilanku dari culun, sampai keren. Pendapatku, entah yang lain. Pertanyaan yang diajukan Cintia berhasil kujawab dengan tenang. Sampai perlahan, senyuman manisnya mulai terpancar. Aku bangga pada diriku, karena mampu membuat bidadari dunia tersenyum.

Menu yang kami pesan sudah tiba dengan selamat, tanpa ada yang berkurang. Di sela makan siang, aku berikan sebuah lagu dari Geisha. Karena, dengan lagu itu Cintia mungkin bisa lebih mengerti dan bisa memisahkan antara cinta dan benci.

Benar saja. Dia begitu menikmati lagu itu. Sesekali dia anggukan kepalanya sambil mengunyah.

“Bener juga ya Su. Lagunya pas banget sama apa yang aku rasain sekarang. Kok, kamu keren gitu sih Su.” Kata Cintia sambil tersenyum.

“Oh ya jelas dong. Suheri Suhartono, anak dari keturunan The Angle of Love masa nggak bisa nanganin masalah cinta.” Candaku.

“Tapi, aku akuin kamu itu keren. Terlebih dalam hal cinta. You’re the really one from a thousand man who care about love.”

“Waduh... Jangan terlalu memuji aku dong. Itu kan kewajiban aku sebagai teman. Teman biasa itu harus care sama temannya. Apalagi teman hati.” Ucapku pelan.

“Teman hati? Maksudnya?”

“Maksudnya ya... Ya... Apa yah? Ya... Jantung. Teman hati itu kan jantung.” Kataku gugup.

Cintia tertawa lepas karena melihat aku yang sedang gugup. Sangking lepas tawanya, sampai ia tidak sadar di gigi depannya masih ada sisa kulit cabe. Aku bingung, bagaimana aku bisa memberitahu dia kalau kulit cabe itu masih menempel, sedangkan ia terlihat begitu ceria. Aku tidak mau menghapus keceriaannya, hanya karena kulit cabe yang masih tersisa di gigi depannya. Biarkan saja, nanti sesampainya di rumah aku beri tahu dia tentang kulit cabe itu. Kasian kalau kulit cabenya terlalu lama di sana, kecantikannya bisa hilang dalam sekejap.

Hari sudah mulai sore, dan matahari pun sudah agak reda memancarkan panas. Aku dan Cintia pun menyudahi perbincangan kami tentang cinta, dan kembali ke dalam mobil. Tuhan memang adil. Rasa haus yang kutahan dari siang tadi akhirnya reda, ditambah bonus yang lebih. Mobil mulai melaju pelan dan sekali lagi, Cintia kini sudah ceria kembali. Walau kulit cabe masih menempel di gigi depannya.

Itu baru sebagian depan dari cerita cintaku bersama Cintia. Banyak kenangan indah hari itu. Tapi, tetap yang paling berkesan adalah kulit cabe yang menempel di gigi depannya. Masih banyak yang ingin aku tulis di sini, tapi nanti saja. Kalau sekarang ditulis, kurang seru. Lagipula, aku sudah mulai mengantuk.

Jadwalku sebelum tidur begitu padat. Aku harus meniup ban bebek dan memakainya sebelum tidur, menulis status baru di Pesbox, meng-update Switter, dan mengirimkan pesan kepada teman-teman kampus, khawatir besok pagi aku tidak bisa bangun lagi. Jam di dinding menunjukan tepat pukul 11 malam. Aku tidak boleh kalah sibuk dengan para pejabat yang saat ini masih menyibukkan diri dengan kesibukan-kesibukan pribadi. Setelah semuanya selesai, aku benarkan letak bantal di kepalaku dan berdo’a kepada Tuhan, agar aku bisa bermimpi yang indah. Inilah kepribadianku. Menulis sesuatu di diary, tentunya agar kelak aku bisa membacanya kembali. Ini ceritaku, apa ceritamu? Selamat malam semua dan selamat bermimpi indah bagi yang mau bermimpi, semoga kita ketemu lagi esok hari di lembaran baru Diary Su. Amin.

Jakarta Sebelah Timur, 1 Januari 2021
Read more

2 Mengenal Lebih Dalam Suku Baduy

Orang Kanekes (Baduy)

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo

Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.

Bahasa

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten(perpaduan antara bahasa sunda dan jawa banten). . Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Asal-usul

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar. Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda  orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.

Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen .
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

Kelompok-kelompok dalam masyarakat Kanekes

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar .

Pemerintahan

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "puun".

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung .

Mata pencaharian

Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

Interaksi dengan Masyarakat Luar

Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten . Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren ,dan kerajinan tangan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.

Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Rujukan
Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 – 59.

Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.

Iskandar, J. (1991). An evaluation of the shifting cultivation systems of the Baduy society in West Java using system modelling, Thesis Abstract of AGS Students, [1].

Makmur, A. (2001). Pamarentahan Baduy di Desa Kanekes: Perspektif kekerabatan, [2].

Nugraheni, E. & Winata, A. (2003). Konservasi lingkungan dan plasma Nutfah menurut kearifan tradisional masyarakat kasepuhan Gunung Halimun, Jurnal Studi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, September 2003, halaman 126-143.

Permana, C.E. (2001). Kesetaraan gender dalam adat inti jagat Baduy, Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Permana, C.E. (2003). Arca Domas Baduy: Sebuah referensi arkeologi dalam penafsiran ruang masyarakat megalitik, Indonesian Arheology on the Net, [3]

Permana, C.E. (2003). Religi dalam tradisi bercocok tanam sederhana, Indonesian Arheology on the Net
 
(Ditulis Oleh: Abie Tama Sabian pada Etnologi Budaya Rumah Budaya AKAR, Cairo)
Read more

2 Saya Bisa ( Kata Mutiara )

Hallo sahabat semuanya, pastikan Anda selalu siap dengan wajah optimis melewati rentetan kehidupan. Di sini saya akan menuliskan beberapa patah kata mutiara, yang mungkin belum ada apa-apanya dibandingkan para kamuters-kamuters semua. 

1. Gunakan waktu satu menit untuk berimajinasi, dua menit untuk mencari taktik, dan dua menit untuk bersiap. Dan Anda harus sudah siap mengatakan, bahwa "SAYA BISA".

Mengapa kita harus membutuhkan waktu lama untuk merencanakan sesuatu? Sesuatu itu akan terjadi bila kita sudah siap dalam memikirkan apa-apa yang akan terjadi setelahnya. Karena berimajinasi lebih dari satu menit biasanya hanya fiktif. Gunakan waktu satu menit Anda untuk memikirkan, apa yang benar-benar saya perlukan. Dan empat menit setelahnya, Anda harus sudah bisa mencari taktik sebelum imajinasi yang Anda pikirkan satu menit tadi terlempar karena kecerobohan yang Anda lakukan sepersekian detik. Believe it, that you can do it!

2. Bermimpilah sepuas Anda, karena geladi resik dari skenario kehidupan hanya ada di dalam mimpi.

Jangan pernah mengira bahwa mimpi itu hanya kilasan biasa. Anda mungkin jarang menemukan hal ajaib dalam mimpi. Tapi, tahukah Anda? Pesawat terbang yang saat ini digunakan sebagai alat transportasi yang bisa dibilang keren, terbentuk dari sebuah mimpi. Dan, tahukan Anda? Bahwa lampu yang menerangi Anda saat malam hari pun terbentuk karena mimpi? Jadi, kenapa mesti takut untuk bermimpi. Hidup berawal dari mimpi, jika Anda sudah siap untuk menghalau mimpi buruk, sudah pasti Anda pun siap untuk menghalau kejadian-kejadian buruk di masa mendatang. 

3. Anak itu bagaikan layang-layang, salah mengatur tali awal maka dia akan goyang. Tidak ada angin, dia tidak mungkin naik. Anda tidak ingin kan, melihat layang-layang goyang.

Anak dalam kehidupan kita ( bagi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak ) adalah emas yang benar-benar harus kita jaga. Lalu, apa kaitannya dengan layang-layang? Seorang anak, ketika ia berada pada posisi pendidikan yang salah, tingkat kedewasaannya tidak akan jauh dari kesalahan pendidikan tersebut. Anak akan berjalan lurus apabila pendidikan yang diberikan lurus dan sempurna. Begitu juga dengan harapan yang saya anggap seperti angin. Seorang anak dengan teman harapan yang besar, maka akan tenang menjalani kehidupan. Berbeda dengan seorang anak yang diberikan harapan hanya secuil, dia tidak akan berkembang. Jangakan berkembang, untuk mengenal apa yang ada di sekelilingnya pun rasanya akan sulit. Siapkah Anda untuk membuat benang pendidikan yang panjang dan mencari tempat di mana angin bisa membawa layang-layang itu terbang? 
4. Tidak usah jauh-jauh mencari pemenang di dunia ini. Kita sendiri pada hakikatnya adalah para pemenang yang tangguh.

Siapa yang tidak kenal dengan juara paling tangguh di dunia. Ya, semua makhluk hidup. STOP!! Ketika Anda berkata pada diri Anda, "SAYA KALAH". Kekalahan yang terjadi saat Anda mengalaminya adalah fatamorgana dari kemenangan yang akan datang. Tidakkan Anda malu kepada milyaran sel yang lemah ketika sampai pada pembuahan? Seorang pemenang akan malu mengatakan dirinya "KALAH". So.. Yakini bahwa setiap pemenang punya kehidupan yang menang. 

5. Lihat kedua orangtua Anda. Maka, itulah Anda pada masa mendatang.

Bukan berarti kala Anda melihat kedua orangtua Anda jatuh miskin, maka Anda pada masa mendatang akan jatuh miskin. Ungkapan yang saya tuliskan di sini adalah, bagaimana Anda bisa mengelak dari kemiskinan tersebut. Kedua orangtua Anda seorang buruh, maka jangan sampai Anda menjadi buruh. Naikkan derajat Anda sedikit, karena dengan itu Anda bisa tahu di mana letak kelemahan Anda di masa mendatang. Persiapkan mental Anda untuk bisa menaikkan derajat Anda ke yang lebih baik lagi. Yakin bahwa tidak ada sesuatu yang tidak ada jalan keluar. 

Jadi.. Seberapa besar Anda mengatakan bahwa "SAYA BISA" pada hari ini? Tantangan zaman masih terus berputar seiring dengan bertambahnya permasalahan yang kian hari kian menyambung. 

Masih nyambung, nunggu dapet inspirasi lagi.
 
Read more
 
© 2010 Catatan Mahameru Nugraha is proudly powered by Go! Blog
Inspirasi hidup yang membawaku bisa seperti ini. Life will find a way.