Impianku Menggapai Cahaya Emas di Palung Danau




Langit sore masih menguning. Cahayanya bertaburan, dan memecah terangnya antero bumi. Gemericik air yang ditiup angin ke tepiannya, seakan puas berdinamika dengan desiran pasir, dan kicauan burung. Aku menyendiri kali ini. Diam dengan keadaan yang menantang. Terhadap langit yang masih terbentang. Aku terdiam di sudut jembatan kayu itu. Jembatan yang masih terlihat kokoh itu, seakan menjelma menjadi loyo, rapuh, dan lebih terlihat tidak berguna. Aku melihat sekumpulan manusia yang terlihat asyik memainkan alam yang ada di sekelilingnya. Imajiku tersudut kepada pantulan cahaya keemasan di ujung danau. Ingin rasanya kugapai cahaya indah itu, dan mengatakan betapa hancurnya hatiku.


"Langit, dengarkanlah! Aku mengadu kepadamu tentang wanita." Teriakku di ujung jembatan.


Diam. Dia hanya diam, tidak memberikan jawaban.


"Hey, langit! Aku datang kesini untuk mengadu kepadamu, kenapa kau masih diam dan angkuh dengan cahaya keemasanmu itu?"


Langit menatapku dengan tatapan keangkuhan. Seakan hanya dialah yang mampu memberikan kebahagiaan bagi air yang dipantulkannya. Kini, kuhempaskan senyuman kecilku. Agar dia mengerti tentang keadaanku.


Sebulan yang lalu, otak kecil ini masih hangat membincangkan wanita. Kuanggap dia melebihi dari segalanya. Ya, aku menganggap wanita adalah seorang ratu, dan laki-laki hanyalah algojo-algojo yang tunduk atas perintahnya. Wanita kuanggap sebagai makhluk ajaib. Dengan gemulai tubuhnya, laki-laki terperanjat. Dengan kelentikan wajahnhya, laki-laki ter-hipnotis. Dahulu aku adalah korban yang merasakan keduanya. Aku terbawa debu-debu cintanya, dan ikut tersapu dalam lembah kehinaan.


Tempat ini adalah saksi bisu dari sebuah percintaan yang abstrak. Bulan paruh itu mengintip kami dari pekatnya langit malam. Hanya ikan-ikan kecil yang sengaja kubisikan. Karena, hanya merekalah yang bisa menyampaikan berita cinta kepada palung cahaya danau.


Sebuah bayangan kecil menyudutkan pandanganku ke dasar air. Ya, mereka ikan-ikan kecil yang dahulu kubisikan tentang cinta. Lambaian sirip mereka mengajakku untuk masuk ke dalam dunianya. Dunia penuh kedamaian, kehidupan yang penuh dengan keharmonisan, dan cinta yang penuh dengan keterkaitan. Sesegera mungkin kutanggalkan bajuku dan bersiap menembus dunia mereka. Senyuman pilu yang baru saja kuhempaskan, sudah kubuang dan kulemparkan tepat di atas pantulan cahaya yang angkuh.


"Aku akan menyusulmu." Teriakku.


Namun, entah mengapa bayangan itu membentuk sebuah tubuh yang indah. Bayangannya terlihat begitu anggun. Ikan-ikan kecil itu, tidak lagi melambaikan siripnya. Mereka seakan menyamar menjadi seorang wanita. Aku tidak mempedulikan itu semua. Di benakku, itu semua tidak akan pernah terjadi, dan bahkan hanyalah fiksi.


Byuur[i]…..


Hempasan air yang menggesek kulitku pun berteriak. Kali ini, kuberanikan diriku untuk masuk ke dunia yang lain. Walau sebenarnya aku tidak bisa memaksakan diriku untuk mengayuh tenaga, agar tubuhku tetap seimbang di dalamnya. Tepat di hadapanku, seorang wanita mendekatiku. Tidak bisa kugapai tangannya, walau dia mencoba meraihku. Nafasku sudah tidak kuat lagi menahan tekanan air yang begitu kencang. Aku terbawa tepat di ujung cahaya itu. mataku sudah tidak berfungsi lagi. Yang ada hanyalah sekelabatan tangan, cahaya, dan gelembung air.


"Tolong, tolong keluarkan aku dari dunia ini." Aku mencoba meraih ujung air, dan meneriakan kepada siapa saja yang mendengarku.


"Tenang, jangan banyak bergerak." Suara lembut itu, kudengar bercampur dengan gelembung air.


Tubuhku sudah tidak berfungsi lagi. Kedua mataku perlahan memejam, seiring dengan hembusan nafasku yang terakhir kali kubuang. Telingaku sudah tidak menangkap apa yang ada di sekelilingku. Keadaanku makin berada di titik kematian. Aku mencoba berteriak, namun tidak bisa. Kucoba lambaikan tanganku, namun yang ada hanyalah beban yang memberatkan tubuhku.


Tubuhku kini terasa kaku, dan hanya bisa mengamini arus air yang membawaku jauh ke dalam palung danau.


"Kau kini berada di dalam pantulan cahaya keemasanku." Aku mendengar suara itu, namun samar. Aku tidak menghiraukan apa yang dikatakannya. Aku berada di dalam titik kematian. Yang kurasakan hanyalah kehangatan yang membasuh sekujur tubuh kecil ini.


"Aku ingin menggapai cahayamu. Langit." Ucapku perlahan, sambil menahan tekanan air di dalam rongga mulutku. Dengan hembusan nafas yang terakhir kali kubuang, dan jasadku menghampiri cahaya keemasan itu. Maka disanalah, cahaya keemasan menyinari tubuh matiku. Dan aku, mati dalam keadaan yang penuh dengan kebahagiaan. Karena, impianku untuk menggapai cahaya itu sudah teramini.


Selamat tinggal dunia, sampaikan salamku kepada wanita itu. Bahwa aku sudah menepati janjiku.


Created by : Prasetya Nugraha (Akang Haji Tyo)[ii].








[i] Suara air yang terdengar ketika suatu kita jatuhkan ke dalamnya.



[ii] Mahasiswa Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin.

comment 0 comments:

Posting Komentar

.:( Komentar dari Pembaca Saya Tunggu ):.

 
© 2010 Catatan Mahameru Nugraha is proudly powered by Go! Blog
Inspirasi hidup yang membawaku bisa seperti ini. Life will find a way.