Hamid Jabbar (Sastrawan Terkenal, Mati Terkenang)

Hamid Jabbar dan Karyanya

Hamid Jabbar lahir di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat, 27 Juli 1949. Ia meninggal di Jakarta,  29 Mei 2004. Bernama lengkap Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar. Pendidikan terakhir SMA (tahun 1970). Pada masa kecilnya ia suka mendendangkan pantun-pantun nasihat dari ibu kandungnya, Ummi. Pada usia remaja ia merantau ke Sukabumi, Bandung, dan Jakarta. Di Bandung dan Sukabumi, ia menjadi aktivis Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (1966-1969).

Aktivis KAPI Sukabumi dan Bandung semasa aksi demonstrasi Angkatan ’66 ini mulai menulis puisi, cerpen, cerita anak, novel, dan esai pada 1969, namun baru disiarkan di media massa pada 1973. Ia mengaku berguru pada Sutardji Calzoum Bachri. Karya-karyanya tersebar di berbagai koran terbitan Jakarta, Bandung, dan Padang, serta beberapa majalah terbitan Jakarta, termasuk Horison (Jakarta) dan Dewan Sastra (Malaysia). Puisi dan cerpennya dimuat di Horison, Sarinah, Ulumul Qur’an, Menyimak, Hai, Singgalang, Sinar Harapan, dan lain-lain.

Bersama Wisran Hadi mendirikan Grup Bumi Teater di Padang, di samping aktif melakukan studi tentang sastra dan budaya Minangkabau. Mengikuti berbagai seminar sastra dan budaya, juga membacakan puisi-puisi di berbagai kota dan peristiwa, di Indonesia maupun di Malaysia dan Singapura.

Pekerjaan

Ia pernah bekerja menjadi mandor perkebunan teh di Sukabumi, Kepala Gudang beras di Bandung dan Padang, malah juga menjadi Asisten Manager Administrasi Keuangan sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Selain itu juga bekerja sebagai wartawan Indonesia Ekspres (Bandung) dan Pos Kota (Malaysia), redaktur harian Singgalang (Padang), redaktur Balai Pustaka (1980-1983), editor majalah Sarinah (Jakarta), Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta (1993-1996), dan terakhir ia menjadi Redaktur Senior majalah sastra Horison hingga akhir hayatnya. Ia pun menekuni penulisan skenario sinetron.

Hamid Jabbar juga melakukan studi mengenai pantun Minangkabau. Ia menulis puisi, cerpen, esai di berbagai media massa yang terbit di Bandung, Jakarta, Padang, dan Malaysia.

Pada Festival Istiqlal II (1995), ia menjadi Ketua Panitia Penyelenggara Istiqlal International Poetry Reading. Di tahun yang sama ia juga mengikuti Puisi Indonesia-Belanda, yang diikuti para penyair terkemuka dari Indonesia dan Belanda (September di Jakarta dan Desember di Denhaag, Belanda).

Masa Terindah Seorang Sastrawan


Tuhan mengabulkan do’a seorang sastrawan. Hamid Jabbar meninggal ketika ia mendeklamasikan sebuah puisi bersama Jamal D. Rahman, Franz Magnis-Suseno, Putu Wijaya, dan Franky Sahilatua, di Universitas Indonesia (UI), pada tanggal 29 Mei 2004. Ketika Franky Sahilatua mulai memainkan musik, Hamid Jabbar meminta kepada panitia agar diberikan izin untuk membaca puisinya terlebih dahulu. “Saya berjanji setelah saya membacakan puisi saya, saya akan pulang.” Kata Hamid jabbar sebagaimana yang disampaikan oleh Agus R. Sarjono kepada Berthold Damshauser. Setelah puisinya dideklamasikan, Hamid Jabbar pun benar-benar pergi untuk selamanya. Beberapa bait puisi yang diucapkannya sebelum meninggal adalah “Walau Indonesia menangis, mari kita bernyanyi.”

Siapa pun yang mendengar akhir hayat seorang penyair seperti itu, pasti akan takjub. Sudah pasti sebagai sahabat kita akan merasakan kehilangan, namun sebagai seniman, kematian semacam itu adalah kematian yang indah, kematian yang heroik, bahkan dapat dikatakan mati syahid, karena meninggal di saat sedang menunaikan tugas mulia sebagai seorang penyair.

“Betapa dahsyat! Betapa dramatis! Betapa puitis! Betapa mulia bagi seorang penyair. Mengalami saat yang mungkin merupakan saat yang paling bermakna bagi manusia—saat meninggalkan dunia fana menuju dunia yang baru—dalam melakukan sesuatu yang dicintai: berpuisi! Bukankah itu suatu karunia yang sangat luar biasa?” tulis Damshauser.

Sementara Sutardji Calzoum Bachri mengatakan kepada Slamet Sukirnanto, “Kir, teman kita ini meninggal dengan indah. Seorang penyair meninggal ketika sedang tampil di atas panggung dalam pergelaran membaca puisi. Mungkin dalam sejarah sastra, dalam sejarah pembacaan puisi, mungkin baru sekarang ini, yang pertama kali seorang penyair meninggal ketika membaca puisi. Pahlawan puisi!” Julukan Sutardji kepada Hamid Jabbar itu menunjukkan penghargaan yang demikian besar kepada seorang sahabat.

Seorang sahabat yang pada 30 Maret 1973 telah mengetikkan Kredo Puisinya yang menghebohkan dunia sastra Indonesia itu. Di harian Republika, Sutardji menegaskan, dalam sejarah pembacaan puisi sejak Empu Tanakung, Ronggowarsito, Abdul Kadir Munsyi, hingga Chairil Anwar, belum pernah ada penyair yang meninggal saat membacakan puisinya di panggung.

Ketika saya masih mahasiswa, sekitar 1992, saya sempat satu panggung di Auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) dengan Hamid Jabbar, Ikranagara, Sapardi Djoko Damono, dan Purwadi Djunaedi. Kami membacakan puisi kami masing-masing. Yang saya ingat, Hamid Jabbar membacakan puisi “Proklamasi 2” dan mendapat sambutan yang meriah dari mahasiswa UI. Puisi itu kemudian dimuat di majalah kampus Suara Mahasiswa UI edisi perdana. Hingga akhir hayatnya, kalau kita perhatikan dengan seksama, ada kesadaran dalam diri Hamid Jabbar ketika menciptakan puisi. Bahwa puisi yang ditulisnya itu nantinya akan dibacakan di depan publik. Puisi semacam ini, menurut A. Teeuw, merupakan puisi oral, puisi yang memerlukan pengucapan atau kelisanan. Karenanya, saya sependapat dengan Cecep Syamsul Hari, bahwa puisi-puisi Hamid Jabbar sangat memperhitungkan bunyi. Ada unsur musikal dalam puisi-puisi Hamid Jabbar.

Berthold Damshauser keberatan jika Hamid Jabbar hanya dianggap sebagai penyair parodi. Anggapan seperti itu tidak saja salah, melainkan juga membatasi kekayaan kepenyairannya. Menurut Damshauser, tema utama puisi-puisi Hamid Jabbar adalah tentang Tuhan. Selain itu, ciri yang menonjol dalam puisinya adalah adanya kontras yang tajam. Di satu sisi ia seorang manusia yang riang, di sisi lain ia menderita. Menderita karena dunia yang ganas membuat sesamanya menderita. Namun, dalam segala kesedihan yang disebabkan oleh keadaan di sekelilingnya, ia tetap merasa perlu meriangkan dunia, meriangkan sesamanya. Itulah jalan yang dipilihnya. Dan, menurut Damshauser, pilihan itu sangat bijaksana dan arif.

Ada sebuah puisi Hamid Jabbar yang memperlihatkan keseriusannya memperhatikan persoalan bangsa, yakni puisi berjudul “Astagfirullah”. Meskipun menggarap tema-tema sosial, Hamid Jabbar senantiasa mengaitkannya dengan Tuhan sebagai sang Maha Pencipta. Hubungan antara sesama manusia berikut berbagai persoalan yang menggayutinya tak pernah lepas dari Sang Maha Melihat itu. Dalam pengucapannya, Hamid Jabbar sangat mempedulikan irama, yang enak untuk dibacakan atau dideklamasikan. Meskipun tampaknya ia mempermainkan kata, namun yang terjadi kemudian adalah permainan makna dari kata-kata tersebut. Ini sekaligus memperlihatkan kepiawaian Hamid Jabbar dalam berpuisi.

Beberapa Puisi Hamid Jabbar

Astagfirullah
 
Astagfirullah penuh sadar
Astagfirullah sepenuh istigfar
Maka sudah remuk-redamlah aku
Dari debu kembali sezarrah debu
Walau debu sudah fitrahnya hanya kelu
Tapi tanggungjawab tak bisa hanya bisu
Katakan kata-kata yang semestinya mesti
Walau biar hanya kepada diri sendiri
Tapi justru pada diri sendiri aku tak mampu lagi
Sebab aku butuh tubuh utuh yang tak saling bunuh
Dan kini cerai-berai sudah jungkir-balik salah-kaprah

Astagfirullah astagfirullah astagfirullah astagfirullah
Astagfirullah hari-hari huru-hara diriku duhai astagfirullah

Tak selesai pada sekedar caci-maki ataupun haru-simpati.
Astagfirullah jungkir-balik salah-kaprah telah berlaku
Astagfirullah, telah berlaku terbeli terjual, namun bukan
Sekedar salah-cetak kiranya bila tiba-tiba laba jadi bala.
Astagfirullah bila bala jadi bola jadi loba jadi besar jadi sebar

Jadi kabar jadi bakar. astagfirullah. memang ragam jadi
Garam, tapi astagfirullah betapa perihnya teramat parah
Tersebab hati tertukar tahi. maka jika padat menjadi dapat
Tentulah alhamdulillah, tapi apa hendak dikata bila sokong
Ternyata kosong, bila larat tak dapat diralat, jika mahar jadi
Hamar, bila ramah dinyatakan marah, atau lebah menjadi
Belah, rekat jadi kerat, raba jadi bara, bawah jadi wabah,
Sahut jadi hasut, gosok jadi sogok, hingga semua hajat dan
Hajat semua tertukar tempat menjadi jahat maha jahat,
Segalanya lagi gila, dan ini semua bukan salah ketik atau
Salah ketuk, hingga biar gratis pun ternyata sungguh tragis
Muaranya, maka tak putus-putus astagfirullah kuketukketuk
Ke segala remuk dalam diri nisbi ini, duhai diriku
Tangis segala tangis!

 Astagfirullah, wahai diriku, diriku yang kukenal, wahai kukenal
Kujunjung tinggi, tapi tak kunjung kumengerti. wahai entah
Salah apa, salah faham atau justru saling iti-dengki bin
Dendam antara kalian, wahai kalian dalam diriku yang
Mengaku bernama otak di kepala, hati di dada, lidah di
Mulut, hingga kaki dan tangan dan lutut terbalut-balut
Tersebab bertingkai-pingkai tak terlerai, tabrak-lari tabraklari,
Baku caci-maki! otakku bilang: diabetes! mulutku
Bilang: dialapar! tapi lambung dan duburku koor lain lagi:
Diarakus diarakus! astagfirullah, begitu biankah rakus
Menguras segala, rakus akan kebenaran atau memang
Benar diarakus atas segala hal, tak peduli salah atau benar!

Astagfirullah!
Astagfirullah wahai diri, diriku, urat dan nadi, darah dan
Gairah tumpah di arus jutaan jaringan anatomi ini, ruh dan
Jasad ini, astagfirullah! astagfirullah kanal-kanal salah arus
Menjadi anak-anak nakal dalam diri, wahai anak-anak nakal
Banyak lagak salah urus jadi anak-anak galak yang tumpang
Tindih antara timpang dan rintih, antara sayang dan sedih,
Petak-umpet membangun pedih, repet-merepet tak sampaisampai
Tak letih-letih, di sana dan di sini, di kamar-kamar
Malam di rumah diri, ekstasi saling sodomi, zalimi duhai
Zalim menzalimi, saling makar di kelam kamar tak terperi.

Astagfirullah terbunuh sudah daku
Di hari-hari huru-hara diriku
Di duka satu koma tiga triliyun
Ngilu bertimbun-timbun
Duhai tak usai-usai istigfarku
Padamu
Ya Allah!
Astagfirullah
 Laa haula wa laa quwwata illa billahil aliyil aziim

Karya Fiksi:

Prosa

1973 “Dari Ruang Ini”. Horison, 11.8, 344-345.

1974 “Suara”. Horison, 9.9, 278-280.

1976 “Pada Detik Kesekian”. Horison, 10-11.11, 331.

Puisi

1973 “Sejuta Panorama Suara”. Horison, 10.8, 305.

1974 1. Paco-Paco. Jakarta: Puisi Indonesia, 42 halaman.

         2. “Homo Homini Lupus”. Horison, 12.9, 370.

         3. “Sebelum Maut Itu Datang, Ya Allah”. Horison, 12.9, 370-371.

1975 1. Dua Warna (antologi bersama Upita Agustine).

         2. “Lagu Sebuah”, “Sangsaiku”, dan “Sebuah Mobil”. Horison, 1.10, 14-15.

         3. “Nyaris Lupa”, “Setitik Nur”, dan “Seperti Kakekku Dulu”. Horison, 12.10, 369.

 Skenario

         1. “Malin Kundang, Legenda Masa Lalu – Parodi Masa Kini”.

         2. “”War-Teg-Bes, Warga ‘The Best’”.

Cerita Anak

1978 1. Raja Berak Menangis.

         2. Siapa Mau Jadi Raja.

 Karya Non-fiksi:

(t.t.) 1. Editor buku biografi Herlina, Pending Emas dan Bangkit dari Dunia Sakit.

         2.Transmigrasi di Indonesia (bersama Ramadhan K.H.).1997 Panorama Sastra Nusantara (bersama Taufiq Ismail). Jakarta: Balai Pustaka, 434 halaman (berisi makalah yang diajukan pada Pertemuan Sastrawan Nusantara IX dan Pertemuan Sastrawan Indonesia 1997 di Sumatra Barat, 6-11 Desember).

Penghargaan

1998 1. Yayasan Buku Utama (Super Hilang: Segerobak Sajak, buku puisi terbaik).

2. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Super Hilang: Segerobak Sajak, buku puisi terbaik).

comment 0 comments:

Posting Komentar

.:( Komentar dari Pembaca Saya Tunggu ):.

 
© 2010 Catatan Mahameru Nugraha is proudly powered by Go! Blog
Inspirasi hidup yang membawaku bisa seperti ini. Life will find a way.