Postmodern, Proyek Gagal Modern

“This latest mutation in space – postmodern hyperspace – has finally succeeded in transcending the capacities of the individual human body to locate itself, to organize its immediate surroundings perceptually, and cognitively to map its position in a mappable external world. This alarming disjunction point between the body and its built environment – which is to the initial bewilderment of the older modernism as the velocities of space craft are to those of the automobile – can itself stand as the symbol and analogue of that even sharper dilemma which is the incapacity of our minds, at least at present, to map the great global multinational and decentered communicational network in which we find ourselves caught as individual subjects.”

– Frederic Jameson, “Postmodernism, or The Cultural Logic of Late Capitalism” (1984)


Hal ini menjadi sangat sulit bagi masyakat untuk bisa memahami akan sejarah yang berganti dari apa yang mereka pahami saat ini. Seperti kita yang saat ini telah berpindah menuju abad baru, atau bisa dikatakan abad millenium, dalam penggambaran Jameson -1984- tentang kelanjutan keadaan kita kepada waktu yang sesuai. Kita tertinggal dalam hal teori penggambaran yang mampu membantu kita untuk bisa memahami arti dari sebuah hubungan antara revolusi dalam sebuah informasi tekhnologi, persiapan untuk sebuah kemungkinan-kemungkinan dalam lingkungan yang baru, peledakan konsumen dan pemaksaan terhadap pemasaran, legalitas persetujuan terhadap individual yang sebelumnya belum terjadi, peningkatan angka politik dan penduduk, proses globalisasi dan penurunan kekuatan dari pemerintahan nasional, pengurangan kekuatan secara normatif dan peningkatan agama yang fundamental, dan pencarian bahan dari organiasi sosial antara pemasaran dan negara. Beberapa kemungkinan tersebut yang akan melatih kita dalam mendapatkan macro-kesosialan yang tegas dan mapan.

Bagian terbesar dalam rangkaian pelajaran ini akan dialirkan lewat bacaan dan diskusi tentang tiga dari banyaknya hal penting tentang analisis perpindahan sejarah sosial yang selama ini telah kita pahami. Teoritikus asal Ingris Anthony Giddens (saat ini menjabat sebagai Direktur Sekolah Ekonomi London) berpendapat bahwa kita sedang berpindah menuju sebuah zaman di mana dia menyebutnya sebagai zaman radikal, tinggi, atau lebih tepatnya sebagai zaman modernitas. Jika kita membaca buku yang dikarangnya, dengan judul ‘The Consequences of Modernity (1990)’ yang di dalamnya beliau menjelaskan tentang kedinamisan modernitas dan dasar dari dimensi kelembagaan dan berpendapat bahwa generasi modernitas akan terbagi kepada lingkungan yang baru tentang kepercayaan dan resiko yang akan ditanggung.

Sosiolog asal Spanyol, Manuel Castell –saat ini menjadi staf pengajar di UC Berkeley- dalam pecahan bukunya yang berjudul ‘The Information Age: Economy, Society, and Culture’ berusaha untuk membuat pengertian tentang sudut temu antara tiga perkembangan yang ada: revolusi dalam informasi tekhnologi, proses dalam politik ekonomi yang merestrukturisasi antara dua kapitalis dan himpunan masyarakat bernegara pada zaman dahulu, dan perkembangan tentang otoritas budaya yang berlawanan. Dia menuntut dalam dua bukunya yang berjudul ‘The Rise of the Network Society’ dan ‘The Power of Identity’, bahwasannya perkembangan yang membawa kita kepada rentetan pergantian yang mengakar pada apa yang selama ini menemani demokrasi modern dan revolusi industri.

Zygmunt Bauman –saat ini telah menamatkan gelar profesornya di Universitas Leeds, Ingris yang sebelumnya adalah Universitas Warsaw- telah menjadi teoretikus sosial tentang zaman postmodern. Beliau berpendapat tentang jarak yang luas di dalam proyek modernitas sebagai “alasan dari perwakilan rakyat” – yang mana para penguasa politik dan intelektualitas terus mencari cara yang bisa digunakan dalam kepemimpinan dan merasakan sebuah dasar universal tentang kebenaran, keindahan, dan keadilan – telah tercapai. Tidak banyak cara yang dibutuhkan untuk mampu mencapai batas normatif dalam sebuah alur perpolitikan yang sah, tetapi terkadang hal ini menjadi sandaran utama agar bisa mengalihkan perlindungan konsumen dan penindasan kemiskinan. Postmodern adalah hasil dari hancurnya proyek modern, dan – sebagaimana yang tertera dalam buku Bauman ‘Intimations of Postmodernity’ – rangkuman dari wacana etika yang menggambarkan tentang postmodern pun semuanya sudah menjadi hal yang ambigu untuk disimak.

Keadaan yang ada di zaman sekarang seakan berakhir pada titik yang tidak menentu. Dalam artian, kita masih canggung dalam menemukan kehidupan yang diharapkan. Kehadiran postmodern seakan menjadi tembok tebal, yang menghalangi setiap langkah dalam lingkungan yang tidak mendukung. Terlebih semuanya hanyalah menjadi bahan yang cenderung lebih masuk ke dalam perkembangan dunia tekhnologi, bukan dalam hal lingkungan atau pun kehidupan bermasyarakat yang bersih dari pertentangan sosial dan lain sebagainya. Dunia dituntut untuk bisa seimbang, tetapi yang ada malah sebaliknya. Dunia yang saat ini menuntut kita untuk bisa seimbang dengan zaman yang kian berkembang. Gambaran yang dahulu dipaparkan para penulis tentang apa keunggulan dari modernitas itu sendiri pun perlahan lenyap, digantikan dengan permasalahan postmodern.

“Hanya sebagian kecil masyarakat yang memahami betul arti dari postmodern. Karena postmodern tidak seutuhnya menggambarkan hasil, tetapi juga menggambarkan proyek yang gagal sebelumnya, atau yang biasa disebut dengan zaman modern.” –Bauman menambahkan.

Kita sebagai manusia yang menjalani kehidupan pada dasarnya tidak membutuhkan rumus ini dalam kehidupan kita, terlebih bagi dewan legislativ negara. Karena yang dibutuhkan oleh masyarakat sekarang hanyalah keserasian, keindahan, dan keadilan yang mapan untuk bisa mencapai hasil yang memuaskan.

comment 0 comments:

Posting Komentar

.:( Komentar dari Pembaca Saya Tunggu ):.

 
© 2010 Catatan Mahameru Nugraha is proudly powered by Go! Blog
Inspirasi hidup yang membawaku bisa seperti ini. Life will find a way.