Ceritaku Tentang Jakarta

“Mas, sebagian rezekinya Mas. Kasian, anak saya belum makan dari kemarin.” Kata seorang wanita tua, dengan selendang yang mengitari tubuhnya. Anaknya terlihat begitu kusam, kurus, dan benar-benar tak terurus. Aku sedikit bingung. Kalau aku memberikan uang yang ada, aku tidak bisa pulang, kalau tidak memberi, kasian mereka. Ah, sudahlah. Aku berjalan lurus tanpa memperhatikan omongannya. Pikirku, semua pengemis yang ada di sepanjang jembatan ini pun sama.

Terik matahari semakin menyengat, asap-asap kendaraan semakin bersahabat saja dengan bau sampah dan debu jalanan. Sampai kapan Jakarta bisa rapih, aku membatin. Di sebuah terminal dekat dengan kampus, seorang tukang koran berteriak lantang menawarkan koran yang mungkin tak layak dibaca, karena seharusnya koran sudah ada dari sejak pagi.

“Koran, Pak. Akhirnya kedok para pejabat pelan-pelan mulai keliatan, karena adanya KPK.” Teriaknya sambil membenarkan letak handuk di lehernya.

Apa hanya itu yang wartawan bisa sajikan di koran-koran. Penjahat, perampok, penjilat, peledakan bom, korupsi, sampai perceraian para artis pun disajikan. Beberapa hari yang lalu, dosenku memberikan bahan tentang banyaknya permasalahan antara wartawan dengan apa yang disajikannya. Dengan santai kucoba menjelaskan, bahwa wartawan memang seperti itu. Kalau tidak dengan berita-berita yang seperti itu, perusahaannya tidak bisa mengais untung yang besar. Toh sekarang masyarakat Indonesia lagi senang mendalami ilmu perkorupsian, dan lain sebagainya. Para mahasiswa tertawa, tapi tidak dengan dosenku. Dia malah membalikkan pernyataanku dengan sebuah pertanyaan yang begitu mengikat.

“Darimana kamu bisa tahu semua itu? Ada bukti yang kuat?” Tanyanya.

“Coba saja sekarang bapak perhatikan, tidak usah semua masyarakat yang ada di sini. Bapak sendiri saja, kalau mendengar hal pembunuhan, atau perampokan, bagaimana perasaan Bapak? Akankah tertarik untuk menyimaknya?” Aku membalik pertanyaannya dengan pertanyaan. Aku tidak mau dibilang bodoh dalam diskusi.

Laki-laki berkumis tebal itu diam, dan langsung memintaku untuk kembali duduk. Mungkin dia juga sependapat denganku, tidak mau dibilang bodoh dalam diskusi. Dosen yang jujur.

Kini aku berpindah dari terminal ke sebuah bis kota, dari sepi menuju sesak, dari jenuh menjadi stres, dari santai menjadi waspada, maklum di bis kota rawan copet. Baru saja aku memikirkan hal yang tidak-tidak, seorang wanita muda berteriak lantang.

“Copet! Tas saya dicopet! Tolong!”

Hanya sebagian orang yang memperhatikan teriakannya. Itupun bukan karena ingin menolong, hanya ingin punya kesempatan bisa bicara dengan wanita secantik dia.

“Mana copetnya, Mbak?” Tanya seorang laki-laki berkacamata, umurnya bisa ditaksir sekitar 40-an.

“Sudah kabur, saya bingung mau gimana. Di dalam tas itu banyak berkas penting yang harus saya kerjakan malam ini.”

“Tenang saja, Mbak. Hadapi semua ini dengan sabar dan tawakkal.” Ujar laki-laki itu.

“Niat nolong nggak, sih.” Bisikku kecil. Mau dianggap pahlawan, tapi tidak gerak. Keyakinanku semakin kuat, menolong karena nafsu dan niat itu jauh sekali bedanya. Aku tertawa kecil.

###

Hari ini adalah hari minggu. Semua orang berlibur, berpindah dari aktifitas satu ke yang lain. Tapi tidak denganku. Bisa dibilang aku adalah pemuja Soe Hoek Gie. Tak pernah ada kata libur untuk orang seperti dia. Pemikirannya yang selalu antisipan terhadap kondisi Indonesia, kerapkali membuat namanya naik di dunia remaja seumurannya. Bukan karena ingin namaku ikut naik, tapi hanya sekedar mengikuti cara pikirnya dalam memperhatikan pergolakan politik yang haus akan disiplin asli. Beberapa buku menemani pagi dengan lagu-lagu yang sedari malam masih setia. Pernah suatu ketika ayahku berkata, bahwa aku masih goyah dalam hal kepribadian. Semua yang kulakukan, pasti mengikuti hasil karya orang lain. Dalam hal berpikir aku lebih condong ke Soe Hoek Gie, berpakaian mengikuti mode artis-artis papan atas, dan lain sebagainya.

Sekali-kali pakai gaya kamu sendiri. Jauh lebih enak, dan praktis.” Kata ayahku.

Kalau dari dulu aku mengikuti apa kata ayah, mungkin dalam satu hari hanya dua sampai tiga jam aku beraktifitas. Sisanya, lebih baik tidur dan main game. Jujur aku adalah seorang pemalas, anti bekerja, dan sahabat mimpi. Tidak ada hal lain, selain itu. Game hanyalah peneman waktu jenuh.
Jarum jam menunjukan angka sebelas. Aku bosan. Sudah berapa kali musik itu diulang-ulang. Aku ingin pindah aktifitas.

“Pak, mau jalan-jalan nih. BT di kamar terus.” Kataku sambil menggaruk-garuk kepala yang terasa gatal. Semoga saja ayah paham dengan ucapanku.

“Itu kan sudah dibilang jalan. Dari kamar ke teras.” Sambung ayah yang masih terlihat sibuk membersihkan kaca mobil.

“What a nice says.” Aku kembali ke dalam.

“Itu, kalau sudah banyak niru-niru gaya orang. Jadi lupa sama bahasa sendiri.” Ayah bergumam.

Waktu semakin cepat berputar. Rasa-rasanya baru tadi aku terbangun dari tidur yang pulas, kini senja sudah siap mewarnai langit dengan cahaya emasnya. Aku bosan, penuh kehampaan. Buku-buku itu sudah tidak lagi kubaca. Aku keluar dari kamar, di depan teras kulihat ibu sedang asyik berbincang dengan para ibu-ibu lainnya.

“Gosip lagi, kayak nggak ada obrolan lain saja. Emang bener kata si Nita, hari gini nggak gosip, nggak asik.” Gumamku pelan.

“Aduh, anak bapak yang satu ini lagi BT yah? Kasian sekali, itu kalau mau pakai mobil, kuncinya di atas kulkas. Tapi, bensin tanggung sendiri yah.” Canda ayah dengan logat yang sengaja dimirip-miripkan dengan anak muda jaman sekarang.

“Emangnya ane udah kerja bos. Kan uang masih minta dari you.” Balasku dengan logat bicara yang serupa.

Ayah tertawa mendengar nada bicaraku.

“Ini uangnya. Ingat! Don’t rock, oke?” Kata ayah sambil memberikan dua lembar limapuluh ribu.

“Rock? Apaan tuh? Baru denger.”

“Jangan ngerokok.” Sambut ayah sambil berjalan ke ruang tamu.

“Don’t smoke dad, bukan don’t rock,” aku berjalan menuju garasi sambil menahan tawa, “orangtua pun pengen ikut gaul, gitu jadinya.” Gerutuku.

Akhirnya rasa jenuh yang kutahan selama lebih dari tiga jam pun dibayar tunai. Segera kupakai kaos berwarna hitam dengan tulisan ‘I Hate Politic’ di depannya. Sudah banyak sekali daftar tempat yang akan kutuju. Mulai dari rumah si doi, jalan bareng ke mall, sampai santai berdua di kafe terbuka. Aku membayangkan, sungguh romantisnya kalau semua itu bisa dicapai.

“Berdua di tempat sepi, curhat sedikit, habis itu cup-cup an deh. Duh, senangnya.” Aku membayangkan semua itu, sambil nyengir kecil.

Mobil melaju cepat saat memasuki tol Jakarta-Tangerang. Aku lebih suka kebut, daripada harus sabar mentaati peraturan yang ada di setiap pinggiran jalan. Kalau pun memang semuanya mentaati, tidak mungkin ada kecelakaan, apalagi macet. Jadi, pikirku semuanya sama. Sama-sama suka kebut, dan tidak ingin dibilang supir amatiran. Tinggal limabelas menit lagi aku sampai di rumah Eline. Kutekan kembali pijakan gas, agar mobil semakin cepat membelah jalan.

“Malem tante, Eline nya ada?” Tanyaku dengan nada sedikit lembut. Maklum, ibunya pengajar di
salah satu madrasah Islam. Jadi, harus jaga penampilan dan kepribadian.

“Eh, ada dik Adit. Mari masuk, Eline ada di dalam kamar. Langsung saja ke kamarnya, Ibu mau bebersih dulu.” Ibu Eline menyambutku dengan ramah. Senyumannya yang membuatku, harus bisa
jaga sikap di depannya.

“Terimakasih, tante.” Kataku sambil berjalan masuk ke dalam rumah besar itu.

Baru kali ini aku diizinkan untuk bisa masuk ke dalam kamar Eline. Biasanya, aku harus sabar bila ayah Eline sedang santai membaca koran di kursi goyangnya. Dua minggu yang lalu, ketika malam pertama jadian dengan Eline, aku mencoba masuk ke dalam kamarnya tanpa izin. Dengan nada Medannya yang khas, ayah Eline membentakku dan langsung menghentikan langkahku. Beruntung kali ini ayahnya tidak ada. Jadi, bisa santai sejenak di kamarnya.

“Sudah siap?” Tanyaku di samping pintu.

“Eh, Adit. Kapan datang? Kok nggak call dulu sih?” Wajahnya begitu terkejut.

“Baru aja, yuk.”

Eline segera beranjak dari tempat tidurnya. Tumben sekali, orang seperti Eline membaca buku. Apalagi buku yang berat dibaca. Baru saja kulihat dia memegang buku ‘The Rebel’. Apa karena sudah ada hubungan denganku, mungkin.

“Tumben baca buku.” Ujarku memulai pembicaraan.

“Lagi iseng aja, abis nggak ada kegiatan sih. By the way kita mau ke mana?”

“Tadinya mau ke mall, nongkrong aja di sana. Tapi, berhubung udah malem. Jadi, kita ke kafe aja.”
Jelasku.

“Jangan sampe kemaleman yah beibh. Ayah bisa marah, kalau sampai kemaleman.”

Perjalanan kami mulai memasuki kawasan Bundaran HI. Macet total memaksa kami untuk sabar. Sedikit instrumental santai kusetel, berharap agar Eline tidak jenuh. Hampir setengah jam, mobil hanya bisa berjalan pelan. Tidak lama setelahnya, seorang polisi mengetuk jendela mobil.

“SIM.” Ucapnya sambil menyodorkan lengannya.

“Kenapa kaca spionnya pecah?” Tanya polisi, sesaat setelah SIM diperiksa.

“Kesenggol mobil, Pak.” Jawabku acuh.

“Limabelas ribu.” Ujarnya santai.

Aku kaget mendengar ucapannya. Hanya retak sedikit saja, bisa sampai limabelas ribu. Setahuku, polisi itu menyarankan agar ke depan harus sudah benar. Paling kejamnya lagi, plat nomornya dicatat untuk bahan perhatian selama satu minggu. Permasalahan lainnya adalah uangku. Kalau dalam hal ini aku meladeni polisi itu, batal semua rencana yang sudah disusun dengan rapih.

“Saya tidak terima, Pak. Ini retak belum seberapa, kok kenanya sampai limabelas ribu? Intinya saya tidak mau bayar, atau bapak saya laporkan ke polisi pusat. Mau?” Ancamku, yang sedaritadi tidak tahan dengan wajahnya yang menyebalkan.

Merasa kalah dengan ancamanku, polisi itu pun mempersilahkan untuk jalan kembali. Eline hanya diam. Aku tahu, dia pasti memikirkan omelan ayahnya kalau sampai terlambat pulang. Aku jadi ragu meneruskan perjalanan. Wajah Eline perlahan nampak ketakutan. Aku coba untuk menanyakan keadaannya. Belum sempat dijawab pertanyaanku, dia minta untuk memutar arah. Acara malam itu batal. Sebagai lelaki, aku hanya bisa mengamini permintaan wanita. Tanpa pikir panjang, kuputar perjalanan menuju rumah Eline. Kali ini, aku yang lebih banyak diam. Eline tertidur.

Sesampainya di rumah Eline, ia langsung berlari masuk ke dalam kamar. Hanya ada ibunya dan pembantu rumah. Melihat sikap Eline yang tidak wajar, ibu pun meminta maaf dan meminta kepadaku agar memaklumi sikap Eline.

“Baik kalau begitu, Bu. Saya pamit pulang. Malam.”

Semuanya gagal. Cuma karena hal sepele, semua rencana buyar. Aku memilih lambat kali ini, daripada kebut. Menikmati suasana malam jauh lebih asik. Semua kejadian tadi, biarlah berlalu. Lagipula, untuk apa terus dipikirkan.

“All right, here we go!” Teriakku dibarengi dengan lagu R&B ala anak gaul.

###

“Adit, bangun. Ayo sarapan, emangnya hari ini kampus libur yah?” Suara ibu terdengar kecil di telingaku.

“Jam berapa, Bu?” Nadaku begitu berat.

“Jam setengah delapan.”

Serentak aku terbangun dari tidur, dan bersiap untuk pergi ke kampus. Hari ini, tanpa sarapan, tanpa dengar musik, tanpa baca buku, tanpa semuanya. Hanya meminta uang saku, kemudian berlari ke halte. Aku Aditia Prananto, tinggal di sebuah kota yang begitu padat akan aktifitas, banyak problema, dan penuh dengan hal-hal aneh. Tapi, mau diapakan lagi. Ini adalah tempat kelahiranku, ini adalah saksi hidupku, ini adalah cita-citaku, dan ini adalah permasalahanku. Jakarta, kota kecil dengan jutaan permasalahan. I like that.

Nasr City, 11 Januari 2010.

comment 0 comments:

Posting Komentar

.:( Komentar dari Pembaca Saya Tunggu ):.

 
© 2010 Catatan Mahameru Nugraha is proudly powered by Go! Blog
Inspirasi hidup yang membawaku bisa seperti ini. Life will find a way.