Aku Wanita dan Kamu Laki-laki

Malam ini Kairo sedikit sayu dengan taburan bintang yang tak seindah kemarin, dua hari lalu, atau bahkan seminggu yang lalu. Aku beruntung bisa tinggal di sebuah tanah humus, yang terbentuk dari pasir panas dan air ini. Pernah sesekalinya kulihat beberapa panorama indah, menggelayuti kota ini. Walau tidak seberapa indah di mata yang lain, bagiku itu sudah menutupi panasnya udara yang hampir mendekati angka 40.

Entah mengapa malam ini aku merasa begitu bosan. Tidak sedikit kata ‘penat’ bersendi dalam otak yang hanya sebesar kepalan tangan ini. Mulai kuraih sebuah tas dari sudut lemari kayu, dan mencoba mencari ketenangan dalam rinyuhnya kumpulan hantu-hantu kota. Langkah kecil yang meyakinkan ini mengarah menuju sebuah peradaban kuno. Hamparan cahaya seolah menebar membentuk bukit. Ya, bukit cahaya. Hanya itu yang bisa kuungkapkan, ketika kaki ini melangkah menuju sebuah café kecil. Sedikit kurebahkan tubuh yang terasa hambar.

“Wahid syay wa wahdah tuffah, law samaht.” Kataku kepada seorang pelayan.

Bergegas kuambil sebuah kamera kecil, dan mencoba mengambil sebuah panorama indah tepat di hadapanku. Tidak merasa puas dengan hasil yang diambil, aku mencoba fokus dari sudut yang lain. Kali ini kurasa sudah tepat. Seorang wanita setengah baya dengan background bukit cahaya. Sungguh indah.

“Apa yang lebih indah dari secangkir teh hangat, sebuah Syisya, dan panorama Nil?” Aku bersuara pelan.

“Wanita.” Jawab seorang wanita, yang aku sendiri tidak tahu siapa dia.

Menatap dengan senyuman kecil dia sampaikan, disambut setelahnya kepulan asap rokok. Aku mati langkah. Mencoba membalas senyuman kecilnya, namun tidak bisa. Rasanya kaku untuk mempercayai. Wanita itu berpakaian ketat berwarna kuning dan hijau. Kerudungnya membundal lucu, mengitari lingkar kepala yang kecil. Masih kaku dengan jenis wanita seperti itu, aku mencoba mengalihkan perhatianku ke arah hotel yang letaknya berada di tepian Nil. Masa bodoh dengan wanita, yang tidak jelas asalnya.
Sial, aku termakan oleh ucapan. Kini aku menatapnya dengan tatapan kosong. Kuperhatikan dia lebih tajam, dia membalas dengan senyuman kecil, lalu membuang puntung rokok dan kembali menatapku.

“Kenapa? Ada yang aneh?” Tanyanya mengisi tatapan kosongku.

“Ti..tidak, tidak apa-apa. Ma’aleisy.”

Dengan segera kulangkahkan kaki ini menuju kasir, dan kemudian berjalan keluar café. Tanpa menghiraukan wanita itu. Di sudut jembatan kulihat segerombolan orang berkumpul. Aku berlari cepat, ingin tahu apa yang terjadi disana. Sesampainya, kucoba meraih jalan dari kumpulan yang sesak. Ternyata, hanya tukang sulap jalanan yang asyik beratraksi dengan gaya sulapnya. Aku sedikit terhibur dengannya. Setidaknya, aku sudah benar-benar jauh dari wanita asing itu.

Aku bersorak ria, ketika beberapa burung merpati keluar dari sebuah kaleng yang kosong. Dua burung merpati berwarna putih terbang mengitari jembatan tua. Begitu romantis. Tidak kalah dengan semua itu, kuambil kameraku dan mencoba mengarahkan tepat ke arah dua burung merpati. Fokusku tepat, dua burung itu terambil kamera, kemudian kulangkahkan kaki ini kembali menuju tempat awal. Dimana aku bisa dengan jelas, menatap keindahan secara natural. Tanpa rekayasa.

“Andai malam ini aku ditemani seorang wanita, mungkin akan terasa lebih indah.” Ucapku kecil.

“Jadi, tidak ada yang salah kan kalau aku berkata wanita lebih indah?”

Lagi-lagi aku dipertemukan dengan wanita asing itu, untuk yang kedua kalinya. Kali ini aku coba memberanikan diri, untuk berkata. Tidak seperti tadi, layaknya keledai. Aku hanya bisa diam dengan tatapan kosong.

“Siapa kamu?” Tanyaku.

“Aku wanita, dan kamu laki-laki.”

Jawaban busuk yang baru saja kudengar, keluar dari seorang wanita. Sungguh aneh. Wajahnya
menatap hamparan lurus Nil. Tidak lama, dia membuang rokok yang dihisapnya, dan berbalik ke arahku.

“Ada yang salah dengan jawabanku tadi?” Tanyanya dengan nada lugu.

“Pasti. Kamu itu aneh, kita belum pernah bertemu. Tapi dengan santainya kau merusak acara malamku.” Nada bicaraku sudah tidak normal.

“Beberapa detik yang lalu, aku mendengar kata ‘aneh’ keluar dan disajikan untukku. Tidak usah munafik dengan keadaan kamu malam ini.”

“Maksud kamu apa?”

Pertanyaanku tidak dijawabnya. Dia hanya tersenyum. Lebih terkesan mengejek. Rasa-rasanya, aku tidak salah mengucap kata itu. Apalagi untuk wanita seaneh ini. Perlahan, dia mendekat, lalu pergi begitu saja.

“Tanyakan saja pada diri kamu. Itu maksudnya.” Ucapnya, ketika berpapasan denganku.

Sungguh di luar dugaan. Aku tidak mengerti dengan maksud jawaban yang keluar dari mulut berbau tembakau itu. Aku memang menyadari keadaanku saat ini. Tidak stabil, dan terkesan mengapung. Melihat teman-teman dengan wanita disampingnya, setidaknya sudah menjadi tekanan yang teramat sangat. Tapi, jujur aku tidak bisa melakukan itu. Aku trauma dengan kisah dahulu. Dimana seorang wanita menangis dihadapanku, dan berkata; “Terimakasih untuk kata cinta yang pernah kamu ucapkan”. Janjiku agar tidak akan terulang kembali kejadian itu, sudah terikat. Malam pun berubah hambar, sehambar keadaanku. Langkah mulai kupercepat, mencoba mengejar wanita itu. Aku tidak mau kalah dengan wanita macam itu. Apalagi, yang dengan tidak sengaja bertemu dan berucap kata-kata aneh.

“Hey wanita aneh, tunggu aku!” Teriakku dari kejauhan.

Serentak wanita itu menghentikan langkahnya. Rasa penasaranku merubah semuanya menjadi galau. Kutarik tas kecilnya, dan kupaksa ia untuk berbalik ke arahku. Aku ingin tahu siapa dia.

“Sekarang, siapa di antara kita yang aneh? Kamu atau aku?” Tanya wanita itu, wajahnya menunduk. Seperti tidak ingin diketahui identitasnya.

“Kamu yang aneh, kamu wanita aneh. Jarang-jarang aku menemukan wanita Mesir berbahasa Indonesia.”

“Ya Tuhan, sungguh bodohnya laki-laki di hadapanku ini.” Ucap wanita itu, lalu beranjak pergi.

Malam ini aku dibodohi oleh wanita yang tak jelas asalnya. Aku tertawa kecil. Mungkin wanita Mesir yang mabuk, dan tidak sengaja bertemu dengan laki-laki hambar. Kubiarkan ia berjalan sesuka hatinya. Semoga saja selamat sampai tujuan, bisikku.

Malam hampir larut. Kulangkahkan kaki menuju terminal bis. Sambil mengunyah permen karet, penghilang suntuk dari perjalanan yang membosankan. Aku sudah bosan.
Seorang wanita kecil berpakaian hitam berlari ke arahku. Dia membawa sebuah kertas kecil. Wajahnya begitu lelah.

“This is for you. From that one, will you give me some candy? The lady say, you have more candy.” Tanya wanita kecil berparas Rusia.

“Sure.” Aku tersenyum.

“Thank you, and see you later.” Wanita kecil itu kembali berlari ke ujung jembatan. Tempat di mana orang-orang berkumpul menyaksikan sulap jalanan.

“Cara apa lagi yang kamu lakukan, biar aku percaya kalau kamu itu bukan wanita aneh.” Celotehku kecil, sambil menahan tawa.

Sial. Celotehanku dijawabnya dengan tulisan aneh. Di dalamnya tertulis, “Masa lalu kamu adalah aku, kalau kamu menganggapku aneh. Maka, wajar kalau tadi kukatakan, kamu laki-laki bodoh. Karena selama ini kehidupanmu begitu aneh.”

Tak kuat menahan tawa, kulampiaskan semuanya pada malam.

“Dasar wanita aneh.” Tawaku, dan beranjak pergi.

Cairo Gate, 200

comment 0 comments:

Posting Komentar

.:( Komentar dari Pembaca Saya Tunggu ):.

 
© 2010 Catatan Mahameru Nugraha is proudly powered by Go! Blog
Inspirasi hidup yang membawaku bisa seperti ini. Life will find a way.