“Apa yang membedakan antara cinta dan benci Su?” Tanya
Rina sambil sesekali mengikuti lirik lagu.
“Cinta itu belum tentu benci, tapi benci sudah pasti
cinta.” Kataku pelan.
“Owh.” Kami pun meneruskan perjalanan kami menuju gerbang
kampus. Sesekali teman kampusku menertawai dan kemudian mengejek. Bagus aku
sudah terbiasa dengan kata-kata mereka. Itu aku, entah bagaimana Rina
menanggapi.
Aku Su, begitu teman kampus memanggilku. Nama legkapku
Suheri Suhartono. Kuliah di Universitas Merdeka Jaya, fakultas tekhnik. Yang
tadi bertanya kepadaku adalah Rina. Nama lengkapnya Surina Suhartina. Kami
punya kesamaan yang aneh, itu kata teman-teman kampus. Entahlah, apa yang
membuat kami berdua begitu sama. Padahal, kedua orangtua kami berbeda.
Orangtuaku berasal dari Jawa, sedangkan orangtua Rina dari Medan. Dari fisik
saja sudah amat jelas berbeda. Aku laki-laki, dan Rina perempuan. Sudahlah,
biarkan saja mereka mengejekku, yang terpenting kami sudah membiasakan diri.
Terbiasa untuk diejek dan ditertawai oleh orang banyak. Suatu hari pernah aku
berfikir, apa yang diidamkan Ibu ketika hamil? Badutkah? Atau lelucon konyol
yang akhir-akhir ini mulai marak terlihat di televisi? Hanya Ibu dan Tuhan yang
tahu.
Kampusku adalah kampus yang paling terkenal di Jakarta,
khususnya wilayah Jakarta Sebelah Timur. Di sekeliling kampus ini ada diskotik,
tempat pelacur murahan, tempat judi terbesar, dan warung minuman keras. Yang
paling aneh adalah, kenapa akreditas kampus ini sampai melonjak tinggi. Di papan
nama kampus saja sudah jelas tertulis, bahwa akreditas Universitas Merdeka Jaya
“A++”. Yang lebih aneh lagi, seragam kampus kami tidak jauh beda mininya dengan
sekolah elit di Korea. Beberapa angkutan umum menyebut kampus kami dengan
Papalus (Pangkalan Paha-Paha Mulus). Aku sarankan jangan pernah mencoba naik
angkot dari sini pada jam-jam kuliah, karena antrian panjang hampir membuat
macet jalanan. Kalau ditanya apa yang membuat jalanan macet, jawabannya adalah
satu. Paha-paha mulus sedang jalan beriringan masuk ke dalam. Oke, itu sekilas
info tentang kampusku.
Malam ini Jakarta diguyur hujan lebat, sampai air kali Cibanjir meluap dan masuk ke dalam-dalam rumah. Tanpa permisi tentunya. Para warga beriringan keluar rumah sambil membawa karet ban yang sudah disiapkan di tembok-tembok rumah. Itu mereka, bukan aku. Banjir itu adalah hal biasa di daerah ini. Karena sudah menjadi bulanan masyarakat sini, sampai ketua RT pun melarang warganya untuk memiliki kendaraan beroda. Apapun itu. Pertengahan tahun kemarin sebuah pengumuman ditempel di tembok pintu air, yang memberitahukan bahwa Gubernur Jakarta Sebelah Timur akan memberikan subsidi kayu kepada warga sekitar komplek Cibanjir. Kayu itu bukan untuk diolah menjadi rumah atau gerobak jualan, melainkan perahu. Kenapa harus perahu? Karena di daerah sini dilarang menggunakan kendaraan beroda. Antisipasi banjir, dan Tsunami kecil-kecilan kata Fawuzi Wibowo, selaku Gubernur Jakarta Sebelah Timur. Kalau ditanya kenapa masyarakat yang sudah terbiasa kebanjiran malah seakan ketakutan dan berhamburan keluar rumah, mungkin jawaban yang paling tepat adalah agar subsidi anggaran daerah ditambah. Jadi, ketua RT bisa mengkorupsi dana anggarannya, kemudian membagikan secara rata kepada warga. Praktek korupsi kelas kecil, tapi sudah hampir 10 tahun tidak ada KPK (Komisi Praktek Korupsi) yang curiga dengan Pak Samid bin Ahmad bin Zaenudnud bin Kulaimat selaku ketua RT seumur hidup. Dari komplek Cibanjir, Suheri Suhartono melaporkan.
Air semakin meluap. Di beberapa titik keluarnya air,
sering terlihat ikan sapu-sapu yang ikut silaturrahmi ke dalam rumahku.
Biarlah, sudah aku siapkan pelet ikan di dapur. Karena, selaku tuan rumah harus
melayani tamu dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai si tamu merasa bosan masuk
ke dalam rumah kita, itu kata guru mengajiku kala duduk di bangku Sekolah
Dasar. Di kala ikan sapu-sapu itu makan pelet di dapur, ini adalah kesempatan
yang pas bagiku untuk menuliskan sebuah cerita cinta yang pahit-pahit pare.
Tapi manis, karena sudah ada kecap cap kasih sayang yang menyirami pare cinta
itu. Gombal? Memang. Sebagai anggota kaum Adam sudah kewajiban untuk
mempelajari kata-kata indah, yang membuat kaum Hawa terangsang, dan mengajak
kenalan, dan menjalin hubungan, dan putusan.
Cerita dimulai dari masa di mana aku masih terlihat
culun. Baju sekolah yang paling putih, kancing baju yang berwarna-warni, bentuk
rambut setengah keren, dan kaos kaki bola lengkap dengan sepatu bolanya. Aku
adalah laki-laki yang berani, karena mampu merantau jauh dari tempat di mana
kedua orangtuaku tinggal. Sudah waktunya aku menggapai mimpi untuk bisa sekolah
di Kota Metropolusi. Oh iya, kedua orangtuaku tinggal di Jawa Timur Dikit. Kala
itu, sudah kutempel tulisan besar berwarna-warni di atap kamarku untuk
merantau. Aku adalah Superman kelas kampung. Karena dari banyaknya warga yang
seumuran denganku, tidak ada yang berani merantau. Kebanyakan dari mereka hanya
bisa berkecimpung di lingkungan yang itu-itu saja. Kasian mereka. Sebentar,
BlackBorringku berbunyi.
“Halo Su, kamu di mana de? Ibu kangen banget sama
kamu.” Tanya Ibu sambil sesekali terdengar mengunyah. Suaranya masih sama.
Cantik seperti orangnya, lebih mirip seperti suara Momo Geisha. Penyanyi
favoritku.
“Dede lagi di Kota Bu. Kan udah dede bilang dari
kemaren-kemaren kalo dede lagi di Kota. Dede pengen menggapai cita-cita Bu,
pengen kuliah di sini.” Jawabku menahan kesal. Karena Ibu selalu bertanya
pertanyaan yang sama tiap kali menelponku.
“Tapi, mau sampai kapan dede di sana? Sudah 6 tahun
kuliah, kok masih semester 5. Ya sudah, cepat pulang ya sayang. Jangan
lupa makan dan selalu ingat apa kata Ibu.”
“Iya Ibu. Nanti kalau ada yang nanya dede udah semester
berapa, bilang aja dede sekarang kuliah pasca sarjana, mengambil fakultas
tekhnik.”
“Pasca apa?” Tanya Ibu.
“Sarjana Ibu. Pokoknya bilang aja dede udah lulus S1.
Udah dulu ya Bu, di sini lagi banjir. Menara sinyalnya hampir mau tenggelam,
takut keputus duluan.”
“Ya sudah, jangan lupa ban bebek yang Ibu kirim ditiup.
Dede kan nggak bisa berenang. Hati-hati ya dede. Cepat pulang. Ibu dan
Bapak menunggu di sini. Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.”
“Wa’alaikum... tut... tut... tut...” Sinyal pun
hilang. Maklum, provider ponselku kurang mendukung untuk daerah yang
rawan banjir. Oke, aku lanjutkan kembali kisah kasihku.
Di buku diariku tercatat pertama kali aku bertemu
dengan Cintia adalah hari Rabu, tanggal 3 September 2020. Cintia adalah
mahasiswi kampus yang unik dan terkesan berbeda dengan mahasiswi yang lainnya.
Di antara 700 mahasiswi, hanya dia yang menggunakan rok setengah panjang.
Penampilannya tidak begitu culun. Cantik, imut, manis, menggairahkan, langsing,
dan lain sebagainya. Sekali lagi, mirip seperti artis favoritku. Sayang,
kekurangan dia hanya satu. Berkacamata besar. Itu saja yang kurang, selebihnya fine.
Dosen Biologi mengakhiri pelajaran sambil berpesan
singkat. “Tingkatkan mutu, dan kualitas, dan kuantitas Biologi kalian. Baik di
luar maupun di dalam. Karena manusia butuh Biologi, kalau tidak ada Biologi
maka tidak ada keturunan.” Seperti itu kata-kata yang kudengar. Serentak para
mahasiswa berdiri dan mengkerumuni Bu Magda untuk bisa foto bareng dengan gaya close
up. Pernah sesekalinya aku bertanya kepada temanku, kenapa dia begitu nge-fans-nya
dengan Bu Magda.
“Bu Magda itu seksi, cantik, anggun, putih, rambutnya
yang lurus begitu indah, lekukan lehernya yang seksi begitu menggairah,
telinganya yang kecil begitu panas, dan yang paling bikin gue nafsu adalah
bibirnya. Bibirnya itu seperti pete. Tipis, tapi wanginya tahan lama.” Jawab
Febri. Mahasiswa unggulan di bidang Biologi dan Sastra.
Matahari semakin tinggi. Hawa panas yang ditiupkan
angin membuat para mahasiswi melepas satu kancing bagian atas secara serentak.
Karena itu salah satu dari peraturan yang tertulis di Undang-Undang Dosen no.
39 Pasal 33. Tapi, berbeda dengan calon kekasihku. Dia tidak mau membuka
kancingnya, karena ada beberapa hal. Salah satunya yang aku tahu adalah, di
tengah-tengah dadanya ada tai lalat yang besar.
Aku berjalan menuju lorong tembok Cina, begitu para
mahasiswa menyebutnya. Karena, untuk berjalan menuju gerbang keluar lorong
membutuhkan waktu 1 jam. Sesegera mungkin aku langkahkan kaki, agar cepat
sampai di warung Mas Doni. Warung favorit mahasiswa kampus ini. Yang membuatnya
semakin digemari adalah tulisan yang ada di tembok warung. “Warung Doni (siang)
Warung Dona (malam)” itu tulisan yang membuatnya semakin banyak pengunjung.
Salah satunya, aku. Tapi, hanya siang saja.
“Pasti mau ke warung Mas Doni ya?” Tanya Cintia dengan
wajah agak murung.
“Eh ada si cantik. Iya nih. Panas banget, pengen
minum yang seger-seger. Kok cemberut gitu sih cantik?” Kataku dengan
nada manja.
“Baru putus sama Hendrik. Tapi, aku bingung Su.”
“Apa yang mesti dibingungin? Kalau sudah putus ya
putus. Kan dirimu itu cantik, kenapa mesti bingung. Cari laki-laki lagi yang
lebih mengerti akan arti cinta yang sesungguhnya. Kalau dirimu bingung terus,
kapan mau nggak bingungnya.” Kataku serius.
“Aku bingung. Soalnya aku belum bisa nerima keputusan
dia. Aku belum bisa memisahkan cinta dan benci aku ke dia Su.”
“Begini saja, kita ngobrol bareng di kafe sambil
santai. Barangkali aku bisa kasih solusi yang baik dan benar. Tentunya tidak
terlepas dari ajaran agama dan pemerintahan negara kita Indonesia. Gimana?”
“Emang kamu punya duitnya?” Tanya Cintia.
“Kan kamu yang punya masalah, jadi kamu yang ngeluarin
duitnya. Di negara kita kan begitu. Kita yang punya masalah, kita yang
ngeluarin duitnya biar masalah kita dapet solusi dari advokat hukum atau
pengacara.” Kataku mengelak. Karena jujur saja, sekelas Starbox mana punya
uang. Tagihan bulanan di warung Mas Doni saja sudah nunggak 5 bulan.
“Nggak pernah berubah. Oke deh, tapi bener yah
bisa kasih aku solusi.”
“Iya Cintia Sandra Pratiwi Gandapritami.”
Setelah kesiapanku untuk menyelesaikan masalah dia dan
memberi solusi, akhirnya kami pun berjalan menuju sebuah kafe di bilangan
Bundaran Hotel Indah, tepatnya di Plaza Grand Indah. Mobil sedan Cintia pun
melaju kencang melewati jalur Busway. Maklum, keduanya sudah menahan haus yang
sedaritadi menguasai.
Setelah perjalanan panjang yang memakan waktu hampir 15
menit kami kuasai, akhirnya sampailah di tempat tujuan. Aku masuk ke dalam
terlebih dahulu untuk mencari tempat duduk yang nyaman, sedangkan Cintia masih
sibuk mencari tempat parkir yang teduh. Bagiku, ini adalah hari spesial. Karena
hari ini, aku berhasil merayu Cintia untuk bisa duduk bersama sambil santai.
Ini adalah rayuan ke 75 ku, dan berhasil. Setelah aku mendapat tempat duduk
yang nyaman, barulah aku mulai merangkai kata-kata untuk bisa menggantikan
posisi Hendrik di hatinya.
Terlihat Cintia sudah menemukan tempat parkir yang
nyaman. Ia pun berjalan masuk dan kemudian menghampiriku. Perasaan yang ada
saat ini bukan panas lagi, tetapi gugup. Gugup karena Tuhan baru saja
mengirimkan bidadari-Nya untukku.
Perbincanganpun dimulai setelah menu makanan kami
pesan. Cintia begitu serius sekali menjabarkan awal mula ceritanya. Sesekali
airmatanya keluar. Dia begitu terpukul akan kejadian yang baru saja menimpanya.
Kasian dia. Tidak tega aku melihat wanita cantik menangis. Ibuku bilang,
airmata wanita itu adalah palu bagi siapa yang mencintainya. Semakin banyak
airmata yang mengalir di pipinya, maka semakin besar palu yang menghantam kita.
“Okey. Tenang dulu ya Cin, tarik nafas pelan-pelan dan
hembuskan. Aku tahu, bagaimana rasanya bila kita ditinggal orang yang paling
kita cintai. Tentu sangat terpukul. Tapi, bukan airmata yang kita jadikan
tameng untuk menahannya. Adalah keikhlasan yang diberikan Tuhan, agar kita bisa
semangat lagi menjalani hidup. Walau, tanpa ada dia. Dari dirimu lahir saja,
Tuhan sudah kasih ciptakan jodohmu juga. Jadi, buat apa ditangisi? Minum dulu
airnya, biar agak tenang. Aku nggak tega ngeliat kamu nangis.” Jelasku
sambil menyodorkan segelas air.
“Su, kenapa Tuhan kasih kita cinta? Lalu, kenapa juga
Tuhan sisipkan kebencian di cinta itu?” Tanya Cintia. Pertanyaan ini sudah
pernah ditanya oleh Rina, dan aku berhasil menjawabnya. Materi cintaku bilang
pertanyaan ini adalah pertanyaan dasar dalam ilmu cinta.
“Karena kita manusia, bukan hewan.” Jawabku singkat.
“Itu doang? Nggak ada penjelasannya gitu?”
“Manusia itu makhluk yang paling sempurna, dan kamu pun
tahu itu. Anggaplah cinta yang ada di manusia itu sebagai nasi, dan benci
adalah lauknya. Kita masih tetap bisa makan, walau dengan nasi saja. Tapi,
kurang begitu nikmat. Karena, tidak ada lauknya. Maka, begitu juga dengan
cinta. Setiap manusia pasti punya rasa cinta, dan itu maklum. Tapi, tanpa
adanya kebencian, rasanya cinta itu kurang nikmat. Kurang seru.”
“Tapi, benci kan dilarang, bahkan harus dijauhi.” Kata
Cintia sambil meneguk air yang hampir habis.
“Benci dalam arti selamanya, tapi kalau benci untuk
sementara dan dengan kebencian itu kita jadi mengerti, ya boleh-boleh saja.”
Cintia terdiam. Mungkin agak sulit mencerna
penjelasanku. Beberapa kali dia minta dijelasi lebih jelas tentang ilmu cinta.
Beruntung aku mengenal Rina, sahabat yang memiliki keanehan yang sama. Dari
Rina aku mengenal apa itu cinta. Dan Rina yang mampu merubah penampilanku dari
culun, sampai keren. Pendapatku, entah yang lain. Pertanyaan yang diajukan
Cintia berhasil kujawab dengan tenang. Sampai perlahan, senyuman manisnya mulai
terpancar. Aku bangga pada diriku, karena mampu membuat bidadari dunia
tersenyum.
Menu yang kami pesan sudah tiba dengan selamat, tanpa
ada yang berkurang. Di sela makan siang, aku berikan sebuah lagu dari Geisha.
Karena, dengan lagu itu Cintia mungkin bisa lebih mengerti dan bisa memisahkan
antara cinta dan benci.
Benar saja. Dia begitu menikmati lagu itu. Sesekali dia
anggukan kepalanya sambil mengunyah.
“Bener juga ya Su. Lagunya pas banget sama apa yang aku
rasain sekarang. Kok, kamu keren gitu sih Su.” Kata Cintia sambil
tersenyum.
“Oh ya jelas dong. Suheri Suhartono, anak dari
keturunan The Angle of Love masa nggak bisa nanganin masalah cinta.”
Candaku.
“Tapi, aku akuin kamu itu keren. Terlebih dalam hal
cinta. You’re the really one from a thousand man who care about love.”
“Waduh... Jangan terlalu memuji aku dong. Itu
kan kewajiban aku sebagai teman. Teman biasa itu harus care sama
temannya. Apalagi teman hati.” Ucapku pelan.
“Teman hati? Maksudnya?”
“Maksudnya ya... Ya... Apa yah? Ya... Jantung. Teman
hati itu kan jantung.” Kataku gugup.
Cintia tertawa lepas karena melihat aku yang sedang
gugup. Sangking lepas tawanya, sampai ia tidak sadar di gigi depannya masih ada
sisa kulit cabe. Aku bingung, bagaimana aku bisa memberitahu dia kalau kulit
cabe itu masih menempel, sedangkan ia terlihat begitu ceria. Aku tidak mau menghapus
keceriaannya, hanya karena kulit cabe yang masih tersisa di gigi depannya.
Biarkan saja, nanti sesampainya di rumah aku beri tahu dia tentang kulit cabe
itu. Kasian kalau kulit cabenya terlalu lama di sana, kecantikannya bisa hilang
dalam sekejap.
Hari sudah mulai sore, dan matahari pun sudah agak reda
memancarkan panas. Aku dan Cintia pun menyudahi perbincangan kami tentang
cinta, dan kembali ke dalam mobil. Tuhan memang adil. Rasa haus yang kutahan
dari siang tadi akhirnya reda, ditambah bonus yang lebih. Mobil mulai melaju
pelan dan sekali lagi, Cintia kini sudah ceria kembali. Walau kulit cabe masih
menempel di gigi depannya.
Itu baru sebagian depan dari cerita cintaku bersama
Cintia. Banyak kenangan indah hari itu. Tapi, tetap yang paling berkesan adalah
kulit cabe yang menempel di gigi depannya. Masih banyak yang ingin aku tulis di
sini, tapi nanti saja. Kalau sekarang ditulis, kurang seru. Lagipula, aku sudah
mulai mengantuk.
Jadwalku sebelum tidur begitu padat. Aku harus meniup
ban bebek dan memakainya sebelum tidur, menulis status baru di Pesbox, meng-update
Switter, dan mengirimkan pesan kepada teman-teman kampus, khawatir besok pagi
aku tidak bisa bangun lagi. Jam di dinding menunjukan tepat pukul 11 malam. Aku
tidak boleh kalah sibuk dengan para pejabat yang saat ini masih menyibukkan
diri dengan kesibukan-kesibukan pribadi. Setelah semuanya selesai, aku benarkan
letak bantal di kepalaku dan berdo’a kepada Tuhan, agar aku bisa bermimpi yang
indah. Inilah kepribadianku. Menulis sesuatu di diary, tentunya agar kelak aku
bisa membacanya kembali. Ini ceritaku, apa ceritamu? Selamat malam semua dan
selamat bermimpi indah bagi yang mau bermimpi, semoga kita ketemu lagi esok
hari di lembaran baru Diary Su. Amin.
Jakarta Sebelah Timur, 1 Januari
2021
Posting Komentar
.:( Komentar dari Pembaca Saya Tunggu ):.