Diary Su ( Episode Kedua )


 Jam menunjukan pukul 4 subuh. Sisa banjir tadi malam masih menggenangi lantai rumahku. Walau tidak seberapa banyak, tapi sudah sangat merepotkan. Aku berhasil bangun terlebih dahulu, sebelum sekumpulan ayam jantan bernyanyi. Bukan karena jadwal harian aku bangun pagi, tapi karena suara bising yang terdengar dari dapur. Malam tadi aku berhasil menangkap 10 ikan sapu-sapu berukuran besar, dan beberapa yang berukuran kecil. Lumayan hasil buruanku malam tadi. Sesegera mungkin aku kumpulkan hasil banjir malam ini, dan membawanya ke Pak Somadi. Dia adalah pemilik restoran seafood yang paling terkenal di daerahku. Dulu, aku sangat suka makan di restoran Pak Somadi. Namun, belakangan ini sudah tidak. Bahkan berjanji pada diri sendiri untuk tidak sesekali melangkahkan kaki ke sana. Bukan karena menunya yang tidak enak, akan tetapi kejujurannya dalam menulis menu yang kurang. Salah satu contohnya adalah menu ‘Balado Pari’. Bagi siapa saja yang mungkin hanya singgah sebentar di restoran itu, akan tertipu dengan rasa ikan yang begitu nikmat. Padahal yang dijadikan lauk ikan di sana bukan ikan pari, melainkan ikan sapu-sapu. Sempat aneh, mengapa restoran sebesar itu masih kurang kejujuran. Ternyata di negara ini pribahasa ‘di atas langit masih ada langit’ sudah tidak terpakai, karena yang ada sekarang adalah ‘di bawah bumi masih ada bumi’. Seorang pemerintah yang lihai menyembunyikan kejujuran jangan pede dulu, karena di sejatinya masyarakat yang di bawah kalian pun lebih pintar berpolitik, walau masih sekelas ikan sapu-sapu. 
 
Perjalananku menuju restoran masih agak jauh. Sambil berjalan aku memperhatikan fenomena yang mencekam. Masyarakat di sekitar sini menganggap judi sebagai ibadah yang sifatnya wajib. Sesekali saja mereka tidak berjudi, maka bandar yang mereka anggap sebagai Nabi akan datang menegur dan meminta pajak ketidakhadiran. Salah satu bandar yang paling terkenal di sini adalah Bang Evran, mengaku sebagai alumnus Nusa Kambangan dan belajar ilmu judi selama kurang lebih 10 tahun. Wajahnya yang terlihat garang, badan yang berotot, kadang membuat siapa saja yang melihatnya merasa takut. Itu bagi yang belum tahu kebiasaan buruknya, bagi yang sudah tahu seperti aku ini, mungkin biasa saja. Secara fisik mungkin ia terlihat garang, tapi jangan salah teman. Bang Evran itu pecinta kartun. Semua karakter kartun dihafalnya, sampai yang paling ia kagumi adalah Sponge Bob. Bagaimana? Masih takutkah Anda dengan Bang Evran? Jawab di dalam hati saja, karena saya masih ingin melanjutkan cerita perjalanan saya menuju restoran.

Pasar Ikan Rawa Teri. Ini adalah rintangan keduaku. Jalanan yang becek, daerah yang bau, ditambah rintik hujan yang membawa aroma amis ke jalanan membuat pasar ini semakin laris dikunjungi para lalat. Pasar ini terbagi menjadi dua daerah yang berbeda mutu. Pasar yang ada di sebelah kanan jalan adalah mutu pabrik. Harga ikannya pun lebih mahal dari pasar sebelah, begitu juga mutu ikannya. Sedangkan pasar yang di sebelah kiri adalah mutu rakyat. Semakin pagi berkunjung ke pasar ini, maka semakin murah harga ikannya. Sayangnya, mutu ikan di sini tidak terjamin. Tahun baru lalu aku mencoba membeli ikan di sini, begitu segar kalau dilihat langsung. Tanpa pikir panjang, lembaran lima ribuan pun melayang. Begitu sampai di rumah, rasa letihku dibayar kekecewaan. Karena daging ikan yang di dalam sudah berubah menjadi makhluk hidup. Aku tidak mau menuliskan nama makhluk itu di sini. Silahkan tebak sendiri, apa nama makhluk hidup yang ukurannya seperti nasi dan hobi mengerumuni bangkai.

“Su... Nggak beli ikan lagi? Masih bagus nih. Baru turun dari kapal!” Tawar Mang Ondel. Salah satu dari puluhan tukang ikan di pasar ikan sebelah kiri.

“Nggak dulu mang. Ikan yang tahun lalu saya beli juga belum habis dimakan.” Kataku kesal. Karena di tempat ini aku membeli ikan yang di dalamnya sudah berkembang biak makhluk aneh itu.

“Dimakan sama siapa Su?” Tanyanya dengan raut wajah aneh.

“Belatung!” Teriakku dan langsung beranjak pergi.

Akhirnya aku bisa keluar dari jeratan bau amis dan lalat yang sedaritadi hinggap di wajahku. Aku tarik nafas dalam-dalam, dan hembuskan. Dua lalat berhasil pergi dari ujung hidungku. Dasar lalat nakal. Restoran Pak Somadi sudah mulai tampak. Tapi, masih ada satu rintangan lagi yang harus aku lewati. Rintik hujan masih menemani langkahku, sedang banjir sudah mulai surut.

Tempat Pembuangan Akhir Sampah Jaya, itulah rintangan terakhirku untuk bisa sampai ke restoran. Belum sampai di TPA, aroma tidak sedap mulai tercium. Aroma itu bercampur dalam satu resep, lebih parah dari Pasar Ikan Rawa Teri aromanya. Aku berjalan tidak sendiri. Di sebelahku ada anak kecil yang membawa karung di pundaknya, dan beberapa orangtua yang begitu asyik mendiskusikan hasil sampah kemarin. Aku tidak boleh kalah semangat dengan anak kecil itu. Semangat untuk menjalani hidup yang jauh lebih sadis dari hukuman para koruptor di negara ini. Bayangkan saja, hari masih gelap tapi dia sudah harus bersiap menunggu truk-truk pengangkut sampah. Coba saja para pejabat di gedung mahal itu mau mengikuti pola hidup masyarakat pinggiran, aku jamin korupsi akan sesegera mungkin hijrah dari kehidupan mereka.

“Tong! Cepetan jalannya, truk sampah udah nurunin sampahnya. Jangan lupa, kalo dapet harta karun bagi dua ya!” Teriak salah seorang dari orangtua kepada anak tadi. Memintanya untuk berjalan cepat.

“Santai Beh! Do’ain aja moga ada orang kaya yang buang emas ke tempat sampah!” Balasnya.

Indah sekali do’a dia pagi ini. Bagus. Semoga saja Tuhan mendengar do’anya. Masih kecil saja sudah mulai iseng, bagaimana nanti kala dia besar. Aku hanya bisa mengusap dada pelan-pelan.

Perjalananku berakhir di sebuah perempatan jalan. Restoran itu letaknya di seberang jalan. Aku masih harus sabar menunggu lampu merah. Sesampainya di seberang jalan, aku langsung masuk ke dalam restoran dan langsung menemui Pak Somadi. Dia terlihat agak sibuk dengan kalkulator di tangannya. Entah apa yang dia hitung.

“Pak Somadi, ini hasil banjir tadi malam pak. Lumayan, ada 10 ekor yang besar.” Kataku sambil menghampiri.

“Bagus. Ini uangnya. Kalo bisa besok harus lebih banyak ya Su. Di laut lagi jarang ikan. Nanti kalo kamu dapet udang juga boleh deh dibawa. Oke?” Katanya sambil menyerahkan lembaran sepuluh ribu.

“Siap Pak Somadi.”

Transaksi dengan bandar ikan sapu-sapu hari ini selesai. Lumayan hasilnya, bisa buat ongkos bolak-balik kampus selama seminggu. Sesegera mungkin aku kembali ke rumah untuk bersiap pergi ke kampus.

Fajar pagi sudah mulai terlihat, sayang masih tertutupi awan mendung. Beberapa buku yang sudah aku siapkan di atas lemari daritadi malam. Sekarang tinggal membersihkan air di dalam rumah, sambil menunggu jam tujuh.

Setelah semuanya bersih, aku pun beranjak menuju kampus. Ini yang paling aku suka. Jalan di pagi hari, sambil menyapa mahasiswi yang masih asik ngegosip di kantin kampus. Oh iya, aku lupa menulis kalau kampusku itu tidak jauh dari rumah. Hasil tangkapan ikan sapu-sapu tadi malam sebenarnya bukan buat ongkos ke kampus, melainkan untuk makan pagi. Kebetulan biaya kampusku sudah diselesaikan oleh Rina. Nanti saja aku jelaskan kenapa setiap semester dia melunasi tagihanku, di episode yang lain.

“Selamat pagi wanita cantik. Pagi-pagi kok sudah menebar aroma wangi? Rindu kah kamu dengan orang yang paling tampan di kampus ini?” Kataku sambil menghampiri gerombolan mahasiswi yang sedang asik ngegosip.

“Nggak kakak. Terimakasih buat pujiannya. Kakak emang laki-laki paling ganteng di kampus ini, sayang kita-kita lagi ngebohongin kakak.” Serempak menjawab lalu pergi.

Angin pagi menghembus kencang, membawa dedaunan kering menabrakku, lalu pergi lagi. Seperti drama-drama Korea. Sudahlah, jangan diteruskan lagi episode di kantin ini. kita berganti ke episode di mana kampusku kedatangan seorang dosen dari Universitas Tenang Saja. Mau tahu bagaimana serunya ketika dia menjelaskan tentang ilmu politiknya? Tenang teman, akan aku tuliskan keceriaan di kelas hari ini.

Kelas mulai dipenuhi para mahasiswa yang ingin mendengar mata kuliah dari dosen yang konon masih satu keturunan dengan dalang pewayangan era Pangeran Diponegoro. Beruntung aku sudah duduk di paling depan. Beberapa mahasiswa yang tidak dapat masuk hanya bisa menyelipkan jarinya di jendela sambil merekam dialognya. Dosen yang ditunggu-tunggu pun memasuki kelas. Penampilannya biasa saja. Tidak seperti dosen-dosen pada umumnya. Dia begitu energik, wajahnya sudah membuktikan kalau dia pandai. Aku sudah tidak sabar menunggu pencerahannya hari ini.

Penjelasan dimulai dari praktek politik kasar yang umumnya dipakai para masyarakat biasa. Tidak sia-sia hasil tangkapanku malam tadi, sampai akhirnya aku mendapat pencerahan tentang politik yang sesungguhnya dari sang maestro. Setelah semua penjelasan sudah dipaparkan, dosen pun akhirnya mempersilahkan para mahasiswa untuk bertanya. Oh iya, aku lupa memberi tahu nama dosen itu. Nama sang maestro adalah Diyatno Notonegoro Sing Apik, MA. MM. MH. Bagaimana? Sudah kenal? Agak sulit memang menghapal namanya, tapi dia meminta kami untuk memanggilnya dengan sebutan Pak Sing. Biar terkesan ada nama Inggrisnya, kata beliau. Lanjut kembali ke forum tanya jawab antara mahasiswa dan dosen. Beberapa mahasiswa bertanya dengan pertanyaan yang aku tidak mengerti. Dan pastinya, sang maestro pun menjawabnya dengan lancar. Sekarang giliran aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Pak Sing, kalau boleh saya ingin bertanya.” Pintaku di tengah forum.

“Silahkan.” Jawabnya tersenyum dengan tangan yang apik memainkan kumisnya.

“Dari mana Pak Sing dapat resensi tentang praktek politik yang baru saja Bapak jelaskan?”

Mahasiswa terdiam sejenak. Keadaan kelas sepi. Pak Sing pun terhenti dari senyumannya. Wajahnya mulai kelihatan bingung tidak karuan.

“Aduh... Iya ya... Dari mana ya?” Wajah malunya mulai terlihat sambil tersenyum kecil.

Aku kecewa. Dan rasa kecewaku benar-benar tidak karuan. Begitu juga para mahasiswa yang mengikuti dialog bersama Pak Sing. Baru saja aku menganggapnya sebagai sang maestro, sekarang sebutannya sudah resmi aku ganti menjadi sang coro. Yang membuatku kecewa adalah, dia menjelaskan tanpa ada resensi. Sabda dari mana lagi yang dia dapat kalau bukan dari sabda diri sendiri. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Sekejap, para mahasiswa pun keluar dari dalam kelas dengan wajah yang kecewa. Sama sepertiku. Sudah sering aku menemui seorang yang pintar akan ilmu, tapi tanpa ada resensi. Memang betul, out the book itu perlu. Tapi, tidak mesti semuanya harus tanpa resensi. Terlalu cenderung pada resensi juga kurang baik. Entahlah, aku hanya percaya pada maestro pribadiku BJ. Habiebie. Kepintarannya melebihi cerita sang kancil yang biasa didongengkan Ibu sebelum aku tertidur. Aku juga punya maestro dalam hal pemahaman sosial ala sabda logika, siapa lagi kalau buka Sudjiwo Tedjo. Manusia yang paling membenci Undang-Undang dan peraturan yang tertulis tanpa logika ini adalah patokan cita-citaku. Aku ingin menjadi dia, tapi tidak sepenuhnya menjadi dia. Hanya permainan logikanya saja yang aku anut. Jadi, ketika aku jadi pemerintah, aku tidak terlalu muluk kepada Undang-Undang Dasar saja, melainkan menggunakan otak kanan dan otak kiri. Itu baru namanya revolusi.

Rintikan hujan yang sedari malam menusuk perut bumi seketika terganti dengan cahaya matahari. Cahaya itu masih terlihat malu. Entah karena tertutup awan mendung, atau memang sudah bosan menyinari manusia. Di luar kampus para mahasiswa mulai menggandeng pasangannya. Satu per satu mulai beranjak pulang, sekarang tinggal aku sendiri di sini. Di depan warung Mas Doni, berharap ada keajaiban Tuhan yang datang dan mengajakku pergi untuk sekedar makan, atau mengisi perut.

“Ngapain kamu di sini Su? Semenjak kapan Mas Doni punya tukang parkir?” Tanya Rina yang seketika muncul di hadapanku.

“Tuhan memang adil. Jangan sungkan buat ngajak makan Rin. Aku nggak ada kerjaan kok hari ini.” Kataku sembari nyengir.

“Tuhan mungkin juga lagi marah sama aku Su.” Wajah Rina agak murung.

“Kenapa?”

“Karena Tuhan sudah mempertemukan aku yang lagi lapar, dengan kamu yang juga lagi butuh makanan.”

Aku merasa tersindir dengan ucapan Rina. Tidak seperti biasanya dia menolak rayuanku untuk makan bersama, walau semua biaya dia yang menanggung. “Ya udah lah, aku pulang dulu Rin,” kataku sembari melangkahkan kaki.

“Tapi, Tuhan bakal lebih marah lagi Su, kalau aku sampai bikin orang yang aku sayang kelaparan.” Ucap Rina sembali tersenyum.

“Bagus. Kamu sudah menjalankan sila ke 5 dari Pancasila. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kataku sambil tertawa, diikuti senyuman kecil Rina.

Kami pun berjalan menuju rumah makan kecil-kecilan yang letaknya tidak jauh dari kampus. Di sini lah tempat biasa kami menghabiskan waktu untuk saling bermesraan. Rumah makan ini punya keistimewaan tersendiri, dibanding rumah makan yang lainnya. ‘Ada Uang Boleh Makan, Tidak Ada Uang Boleh Ngutang’ inilah semboyan dari Rumah Makan Asal Kenyang yang paling digemari para masyarakat. Masyarakat dari kelas menengah ke bawah, sampai yang paling bawah.

Setelah menu makanan tiba, sesegera mungkin kami berebut lauk. Maklum, di sini lauknya dicampur. Jadi yang memilih lauk bukan pembeli, melainkan penjual. Aku dan Rina punya kebiasaan yang buruk setelah menu datang. Mau tahu apa kebiasaannya? Kebiasaan buruk kami adalah membungkus lauk yang baru saja dihidangkan. Kemudian disembunyikan di dalam tas, dan pergi. Biasanya, seorang kasir hanya menghitung berapa piring yang ada di meja. Semakin banyak piring, maka semakin mahal. Belum lagi ditambah uang jasa pengiriman menu dari dapur ke meja.

Sudah setengah jam berlalu, dan menu di meja pun ikut berlalu. Saatnya kami untuk pergi. Kasihan yang di luar sana masih banyak yang mengantri. Setelah Rina selesai membaayar administrasi, kami pun beranjak pergi dan kembali ke rumah masing-masing.

“Su... Besok kwitansi pembayaran semester diambil ya, sama bukunya juga. Besok aku tunggu di kantin.” Ucap Rina sebelum naik ke angkot.

“Oke sayangku. Terimakasih banyak ya. Hati-hati di jalan.”

Angkot yang dinaiki Rina pun mulai melaju. Kini giliranku berjalan melewati Perumahan Pelacur Permai, masyarakat sini biasa menyingkatnya menjadi pertiga. Rintangan saat ini tidak seperti yang tadi pagi aku lewati. Di sini lebih ke daya nalar kita melihat paha-paha pelacur yang kadang dipamer di depan gerbang. Bila kebanyakan wanita lebih suka menutup auratnya, maka di sini berbeda. Kebanyakan warganya beraktifitas menggunakan bikini saja. Ada salah seorang pelacur yang akrab denganku. Namanya Mbak Jessica. Itu nama kotanya. Nama aslinya adalah Murikah Sungartini. Berdomisili dari Jawa Paling Tengah. Kenapa aku bisa kenal akrab dengan dia nanti aku ceritakan lagi di episode selanjutnya.

Sesampainya di rumah, buku kuliah pun sudah tertata rapih kembali, maka saatnya nonton televisi. Penasaran aku dengan kabar terbaru dari Tanah Air. Aku lebih senang nonton berita, selainnya kurang. Berita itu memberi kita banyak ilmu pengetahuan sosial, walau kebanyakan dari berita itu kadang simpang siur, atau bahkan malah dusta.

Sudah aku tebak, pasti berita hari ini membicarakan tentang pemerintah yang korupsi. Terkadang aku menggerutu sendiri, jika sebuah berita terlalu fokus menayangkan berita yang seakan-akan mendramatisir. Masalah lumpur saja belum selesai, sekarang malah berganti wacana ke korupsi. Nanti, masalah korupsi belum kelar, berganti ke masalah yang lainnya. Penonton seakan dihipnotis dengan kabar-kabar yang tersebar di televisi, padahal secara tidak langsung kejadian yang harusnya dapat banyak perhatian, lebih dimunculkan. Korupsi itu kan ibadahnya para pemerintah. Tanpa korupsi, dari mana mereka bisa punya mobil mewah. Untung saja, aku tidak punya cita-cita menjadi seorang Presiden. Karena kalau itu sampai terwujud, aku akan mengkorupsi setengah dari kekayaan negara, dan berpesta pora di negara lain, sambil mengompori masyarakat dengan foto, atau bahkan video. Seperti bintang korupsi yang sekarang marak menjual nama di MeTube.

Tidak terasa, hari sudah menjelang malam. Sudah saatnya aku bebenah seperti biasa. Bagus hari ini tidak hujan, jadi aku tidak perlu repot-repot memberi pakan ikan sapu-sapu lagi. Aku harus tidur lebih sore, agar besok bisa bangun pagi. Aku izin tidur dulu ya kawan. Bangunkan aku pukul 6 pagi. Selamat malam semuanya. Semoga kalian mimpi indah malam ini. God save your dreams friends.

Kontrakan Pinggir Kali Su, 2 Januari 2021

comment 0 comments:

Posting Komentar

.:( Komentar dari Pembaca Saya Tunggu ):.

 
© 2010 Catatan Mahameru Nugraha is proudly powered by Go! Blog
Inspirasi hidup yang membawaku bisa seperti ini. Life will find a way.